Semua naskah di blog ini telah diproteksi dari tindak salin-langsung (copy-paste)

Selasa, 18 September 2012

Kesusastraan Indonesia dan Malaysia: Adakah Fotret Budaya Melayu?


Fathu Rahman
 Abstrak
Dalam studi etno-literature, Kesuastraan Indonesia dan Kesusastraan Malaysia disebut sebagai kesusastraan Melayu. Alasannya, karena kedua kesusastraan dari dua bangsa ini dipandang bertumbuh dari satu rumpun budaya yang sama yaitu Melayu. Tentu saja pandangan ini akan memicu berbagai pandangan yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula.
Selain masalah bahasa, banyak aspek budaya yang menarik dibicarakan dari kedua bangsa serumpun ini, termasuk diantaranya adalah masalah kesusastraannya. Dengan kata lain kesusastraan Indonesia dan Malaysia akan ditilik dari sudut pandang fotret sejarah dan budaya Melayu. Masalah kesusastraan dapat menjadi issue dan tantangan dalam kajian Malaysia – Indonesia.
Makalah ini akan membahas tentang  eksistensi kesusastraan Indonesia dan Malaysia dalam fotret budaya Melayu. Apa fenomenanya? Adakah karya sastra kedua kesusastraan dari negara serumpun ini menjalin tali temali kemelayuan atau justru ia masing-masing memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri?  
Pada kenyataannya, kini kesusastraan Indonesia dan Malaysia bagaikan sebuah pohon yang memiliki dua cabang yang berbeda. Tentu dengan akar sejarah dan budaya yang sama yaitu Melayu.
Kata kunci: kesusastraan, budaya Melayu,  issue dan tantangan dalam kajian Malaysia – Indonesia.

Sastra Melayu
Sastra Melayu Klasik, berdasarkan penelitian terkini, bermula pada abad XVI Masehi. Dalam beberapa sumber, dokumen pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik adalah sepucuk surat dari raja Ternate (kini Indonesia), yakni Sultan Abu Hayat kepada raja João III di Portugal dan tercatat pada tahun 1512 Masehi. Sejak saat itu sampai sekarang pola dan gaya bahasanya tidak banyak yang berubah.
Sastra Melayu klasik sering pula disebut sebagai sastra Melayu Nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya kata nusantara berubah pengertian yang lebih sempit. Ciri sastra Melayu klasik terletak pada pola dan stilistika yang khas pula. Kini sastra Melayu semakin menggoda sebagai salah satu objek kajian akademik.
Warisan sastra Melayu klasik antara lain Gurindam (Gurindam Lama dan Gurindam dua belas), Hikayat, Karmina, Pantun, Syair, Talibun dan lain-lain. Hanya Pantun dan Syair yang mengalami perkembangan secara dinamis, sedangkan yang lainnya bertahan secara statis. Syair lebih banyak didapati dan berlembanng di Malaysia, sedangkan Pantun, baik di Malaysia maupun di Indonesia sama-sama bertahan dalam tradisi sastra masing-masing.
Meski syair tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan di Indonesia, tetapi perkembangan sastra pantun mengalami kemajuan dari waktu ke waktu. Berbagai pegelaran sastra yang menghadirkan pantun, kini semakin menggembirakan. Di beberapa universitas dan sanggar budaya kini bermunculan komunitas pantun.
Dalam tradisi masyarakat, pantun masih dimanfaatkan sebagai salah satu sarana pendidikan dan hiburan. Di Indonesia, kini sedang diminati pantun diselipkan pada bagian awal dan akhir pidato pejabat. Tentu hal ini amat menggembirakan baik sebagai sarana pelestarian pantun, maupun sebagai salah satu pemertahanan identitas kemelayuan.  
Tonggak Sejarah Sastra Melayu Bagi Indonesia
Seperti disebutkan sebelumnya, sastra Melayu klasik dimulai sejak abad 16 atau tepatnya pada tahun 1521. Apa yang kita kenal sebagai sastra Melayu klasik meliputi wilayah nusantara. Hal ini mengikuti prinsip geografis wilayah nusantara. Namun keadaan ini tidak bertahan lama, karena lahirnya perjanjian Inggris pada tahun 1824 yang memisahkan wilayah nusantara menjadi dua bagian besar yaitu, wilayah yang dikuasai oleh Inggris dan wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Malaysia menjadi wilayah yang dikuasai oleh Inggris dan Indonesia masuk ke wilayah yang dikuasai oleh Belanda.
Pemisahan wilayah nusantara masih menyisakan ruang kebersamaan di bawah semangat Melayu karena pemisahan ini hanya bersifat politik dan kekuasaan kolonial semata. Tradisi budaya nusantara masih sangat kental sebagai bangsa yang dijajah secara berbeda. Keduanya diikat oleh satu bahasa yaitu bahasa Melayu, dan kesusastraan yang ada disebutnya sebagai kesusastraan Melayu.
Peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928 perlu dicatat sebagai salah satu bagian penting dalam sejarah politik di Indonesia. Para pemuda Indonesia berikrar menjunjung tinggi bahasa yang satu bahasa Indonesia. Tentu hal ini merupakan pernyataan politik, tetapi membawa implikasi yang besar terhadap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengimpikan dalam kemerdekaan kemudian, memiliki bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Indonesia
Tonggak berikut adalah proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945. Konstitusi negara menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan dalam aplikasinya bahasa Indonesia menjadi semangat pemersatu bangsa. Semangat pemersatu bangsa dimaksudkan di sini karena bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa daerah, budaya dan adat istiadat. “Bhinneka Tunggal Ika”; berbeda-beda tetapi tetap satu. Perkara inilah yang mengawali perbedaan arah kesusastraan Indonesia dengan kesusastraan Malaysia. Sastra Indonesia semakin meninggalkan roh melayunya sementara Malaysia tetap mempertahankan kemelayuan itu. Keadaan ini bukan hanya pada bahasa dan adat istiadat melainkan jauh dari itu, termasuk di dalamnya adalah pada kesusastraan.
Di awal tahun 70an muncul satu semangat bersama untuk membangun kembali khasanah Melayu dalam Bahasa dan Kesusastraan, tetapi pekerjaan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, semua telah berjalan pada jalannya masing-masing. Dalam penyatuan dan penyelarasan bahasa, telah dibentuk satu badan yang bernama MABBIM (Majelis Bahasa Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia) tetapi ternyata hasilnya belum terlihat seperti yang diharapkan.
Tahun 90an, berbagai perguruan tinggi kerap melakukan kegiatan ilmiah kesusastraan, termasuk kegiatan berkala Pertemuan Sastrawan Nusantara. Berbagai kalangan menilai bahwa pada tahun 90an ini telah muncul semangat bersama untuk merumuskan identitas kemelayuan dalam perspektif sastra dan budaya. 
Identitas Melayu dalam Sastra Serumpun
Sastra, menurut Damono (1979) adalah refleksi dari masyarakatnya. Oleh karena itu, identitas suatu bangsa, antara lain dapat dilihat pada karya sastranya. Dalam hal yang sama ketika suatu bangsa membutuhkan penguatan identitas, maka karya sastra berpeluang untuk memberi refleksi.
Dengan argumen itu maka ketika suatu bangsa terancam kehilangan identitasnya akibat serbuan budaya-budaya global, revitalisasi nilai-nilai budaya melalui karya sastra menjadi sangat penting dan berguna. Tetapi harus diingat bahwa nilai-nilai budaya dalam karya sastra bersifat dinamis dan menebar, maka diperlukan forum untuk mengkaji dan merangkum nilai-nilai itu, kemudian merumuskannya menjadi identitas bersama yang lebih pas. Dan, itulah yang sesungguhnya yang saat ini diperlukan oleh bangsa Melayu yang kini tersebar di negara-negara serumpun, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand dan Filipina.
Kegelisahan tentang  telah berkali-kali dibicarakan dalam forum sastra besar bernama Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN). Ini adalah forum dua tahunan yang baik untuk membicarakan identitas kemelayuan dalam kesusastraan serumpun. Apalagi dalam forum itu senantasa dihadiri oleh para sastrawan dari negara serumpun seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand dan Filipina. Salah satu ciri dari setiap pertemuan ini, pantun Melayu senantiasa menjadi ajang yang menghangatkan suasa.
Sebut saja pertemuan pada tahun 2004, fotret budaya Melayu dalam kesusastraan serumpun menjadi topik yang hangat, namun dalam perspek yang berbeda. Paling tidak, telah terjadi peneguhan identitas budaya Melayu dalam karya sastra. .
Dalam kesusastraan Indonesia dan Malaysia, jika ditilik dari aspek kemelayuan memiliki ancaman yang berbeda. Meski harus pula disadari bahwa identitas Melayu, tentu, tidak harus homogen, karena wilayah negara-negara Melayu serumpun didiami oleh berbagai etnis dan agama, yang masing-masing memiliki bentuk ekspresi budaya yang berbeda. Di Indonesia misalnya, negeri yang kaya akan budaya lokal yang terpelihara oleh masyarakatnya. Pemaksaan identitas yang homogen hanya akan mengakibatkan semacam 'tragedi kultural' seperti pemaksaan identitas budaya nasional yang pernah terjadi di Indonesia pada masa orde baru. Cara ini tentu akan  mematikan banyak ekspresi budaya dan tradisi etnis. Dan lebih konyol jika pemaksaan identitas yang homogen itu terjadi pada budaya ataupun sastra negara-negara serumpun yang lebih membutuhkan identitas yang relatif berbeda sesuai dengan realitas masyarakat masing-masing negara. Identitas Melayu mestilah bersifat dinamis dan heterogen. Disinilah pentingnya identitas Melayu ditafsirkan lebih luas. 
Di Malaysia, lain lagi masalahnya. Seperti diungkap oleh Kamal Abdullah (budayawan Malaysia), identitas bahasa itupun kini terancam oleh makin menguatnya tradisi sastra Inggris Malaysia. Pengaruh budaya Inggris dan lainnya memang amat kental di Malaysia. Mengetengahkan kembali unsur budaya Melayu dalam khasanan kesusastraan adalah menjadi pekerjaan rumah kita masing-masing.

Berbeda dalam Persamaan
Hubungan Indonesia-Malaysia dalam sejarahnya kerap diwarnai dengan ketegangan yang boleh jadi terwakili oleh kata: merajuk. Perasaan kesamaan sejarah, sentimen keserumpunan, dan migrasi warga Indonesia (sejak jaman kolonial) yang telah berlangsung begitu lama telah menjadikan kedua bangsa dalam ikatan sosio-kultural. Batas teritorial negara dan persoalan politik, ternyata tidak serta-merta memagari hubungan sosio-kultural penduduk kedua bangsa yang sudah berlangsung sejak lama dan telah mengakar dalam semangat keserumpunan dunia Melayu. Kesamaan perasaan sebagai warga puak Malaysia itulah mukjizat dunia Melayu yang tak mudah dihapuskan begitu saja oleh keputusan politik. (baca Mahayana, 2001)
Keserumpunan ini dapat menjadi alasan penting untuk saling menghormati satu sama lain. Namun demikian dapat pula menjadi bibit masalah hingga ancaman serius dalam soal tertentu. Misalnya masalah sosial budaya dan politik. Padahal Indonesia dan Malaysia adalah negara “kakak-beradik” istilah Mahathir Mohamad
Salah satu faktor yang sering menimbulkan ketegangan adalah masalah perbatasan wilayah hingga klaim mengklaim soal soal hak cipta kebudayaan. Sebut saja klaim Malaysia atas Tortor dan Gondang Sambilan baru-baru ini. Tortor adalah kesenian tari masyarakat Batak, sedang Gondang Sambilan adalah bentuk tetabuhan sebagai musik pengiringnya. Selama ini sudah begitu adanya, bahwa kesenian Batak sebagai karya-cipta manusia pastinya lahir dari tanah Batak, di Sumatra Utara Indonesia. Lalu apa urusannya Negeri Jiran (Malaysia) ini dengan seni budaya Batak? (Hadi, 2012)
Adalah keterangan Datuk Seri Dr. Rais Yatim, menteri informasi, komunikasi, dan kebudayaan Malaysia, seperti dilansir media Bernama (14/6) yang menyebutkan agenda pemerintah Malaysia untuk menjadikan Tortor dan Gordang Sambilan sebagai national heritage (warisan nasional) untuk mengapresiasi komunitas-masyarakat Batak Mandailing yang menetap di Malaysia. Apa yang hendak dilakukan oleh Malaysia merupakan sesuatu yang keliru dengan alasan apapun.
Reaksi geram bangsa kita atas arogansi Malaysia ini tidak hanya satu-dua kali, tetapi berulang terjadi. Masih segar dalam ingatan kita klaim-klaim serupa atas Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange dari Maluku, dan Tari Pendet Bali. Belum lagi persoalan TKI. Juga catatan buruk lainnya sebagai bentuk hubungan dua negara tetangga sekaligus serumpun yang kurang rukun. (Hadi, 2012)
Di sinilah pemahaman sejarah menjadi penting. Sejarah adalah tempat bercermin dan merefleksi masa lalu. Dengan sejarah kita belajar menemukan kearifan untuk melangkah ke masa depan. Maka, mereka yang memahami sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, niscaya tidak akan menyimpan kerisauan berkepanjangan ketika terjadi gejolak dan konflik yang seolah-olah mengganggu hubungan kedua negara. Bagi mereka yang memahami hubungan kesejarahan kedua negara ini menganggap konflik ini sebagai sebuah krikil yang tidak bertahan lama.
Dalam bidang kebudayaan dan perjuangan kebangsaan perlu saling terjaga. Di sinilah diperlukan kearifan sebagai bangsa serumpun untuk memanfaatkan akar budaya sebagai perekat dua bangsa serumpun. Selain berkaca pada sejarah, kita pun dapat berkakaca pada aspek budaya termasuk diantaranya adalah kesusastraan. Kedua bangsa serumpun ini ada baiknya memposisikan kesusastraan Indonesia-Malaysia dalam wilayah yang lebih luas: hubungan sosio-budaya Indonesia-Malaysia di tengah politik yang menciptakan konflik. Bagaimanapun, pengetahuan masa lalu tentang persamaan sosio-kultural kemelayuan-kenusantaraan itulah yang melahirkan – mengalirkan - menumbuhkan semangat persaudaraan yang tak pernah lekang. Dan harus disadari bahwa itulah tali pengikat yang menjiwai kedua bangsa yang bersaudara ini.
Sastra Melayu; konflik ideologi
Sastra Melayu yang dimakud dalam tulisan ini adalah kesusastraan Indonesia dan Malaysia. Adalah Maman S. Mahayana (2001) turut mempertanyakan mengapa kesusastraan Indonesia dan Malaysia akarnya sama: bahasa dan tradisi sastra Melayu. Sama-sama bermoyangkan Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Namun, pohonnya berbeda, dan karena itu cabang, ranting, dan buah kreativitas kesusastraan Indonesia dan Malaysia tidaklah sama.
Menjadi berbedanya sastra Indonesia dengan sastra Malaysia, menurut Maman, terpaut pada kolonialisme. Dalam hal ini, Maman antara lain merujuk pada konsekuensi negosiasi antara Imperium Inggris dan Belanda di London pada 1824. Ranah budaya yang setradisi dipilah dua. Pertama, Malaka serta Singapura menjadi urusan Inggris. Kedua, Sumatra dan selebihnya jadi kewajiban Belanda. Kolonisasi, antara lain, memperkenalkan teknologi percetakan. Dan itulah “embrio bagi kesusastraan di kedua wilayah” (Mahayana, 2001: 3).
            Dalam teori etno-literature, dua bangsa berbeda pasti memiliki aspek budaya yang berbeda, namun demikian dua negara yang berbeda dengan nenek moyang yang sama pasti pula memiliki tali temali budaya yang tak terpisahkan. Itulah Indonesia dan Malaysia, tali temalinya adalah keserumpunan Melalyu. Kedua negara ini memiliki tanggungjawab yang sama untuk melestarikan budaya Melayu, termasuk melalui media kesusastraan.
Catatan penutup
            Pada akhirnya kita mimpikan potret budaya Melayu dapat ditemukan dalam khasanah kesusastraan Indonesia dan Malaysia. Harapan ini kita tumpangkan pada dunia kesusastraan. Perbedaan Indonesia Malaysia jangan dipertajam. Urusan kesusastraan jangan pula dikaitkan dengan masalah politik. Pelestarian budaya Melayu, melalui kesusastraan merupakan media yang strategis.
Dan jika dicermati lebih jauh, meski sama-sama berakar Melayu, sastra Indonesia dan sastra Malaysia berkembang secara terpisah. Itu tidak soal. Hal ini terlihat pada sistem sastra dan orientasi budaya dari masing-masing negara. Sebagai bangsa serumpun, adalah tepat jika kesusastraan Indonesia dan Malaysia (sebut saja kebudayaan) biarlah berbeda dalam persamaan dan bersama dalam perbedaan. Tentu di bawah semangat Melayu.
Sebagai catatan penutup, saya ingin mengakhiri makalah ini dengan sebuah pantun /Merak melayang diangkasa sana//Jangan merayu kata pujangga//Nenek moyang jua sama//Semangat Melayu harus terjaga
(Makalah ini telah disajikan pada International Conference; "Issues and Challenges in Malay-Indonesian Studies", Hankuk University of Foreign Studies, Korea, 2012).  

Bacaan Sumber
Abrams, M.H. 1981. The Mirror and The Lamp. London: Oxford University Press., London.
Clement, Robert J. 1978. Comparative Literature as Academic Discipline. New York: The Modern Language Association of America.
Damono, Sapardi Djoko, 1979, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengetahuan Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitan Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Dipodjojo, Asdi S. 1986. Kesusasteraan Indonesia Lama pada Zaman Pengaruh Islam. Yogyakarta : Percetakan Lukman
Eco, Umberto. 1992. “Interpretation and Overinterpretation”. Stefan Collini (Ed.). New York Port Chester Cambridge University Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. “Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi”. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2011. Sastra Bandingan – Pendekatan dan Teori Pengkajian. Yogyakarta: Lumbung Ilmu
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goldmann, Lucien. 1975. The Genetic Structuralist Methods in the History of Literature – Towards a Sociology of the Novel. Trans Alan Sheridan. London: Tavistock.
Hadi, Sumarso. 2012. Simbiosis Parasitisme Malaysia - Indonesia (http://www.radarlampung.co.id/read/opini/50500-simbiosis-parasitisme-malaysia-indonesia)
Hardjana, Andre. 1983. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Hartoko, Dick & Rahmanto B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Toronto (series editor by H.G. Widdowson): Oxford University Press.
Levin, Harry. 1973. "Literature as an Institution" in “Sociology of Literature and Drama”. (Burns & Burns, Eds.). Harmondsworth: Penguin Books Ltd.
Luxemburg, Jan Van & Mieke Bal Willem G.W. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko) Jamakarta: Gramedia.
Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, Magelang; Indonesia Tera
Mangunwijaya, Y.B. 1988. “Sastra dan Religiositas”. Yogyakarta: Kanisius.
Rachman, Arif, dkk., 2007, Politik Sastra Banding; Potret Abad 20 dan 21, Aditya Media, Yogyakarta.
Rahman, Fathu, 2011. Transformasi Karya: Dari Puisi ke Cerpen hingga ke Muzikal Drama (Studi Kasus Uda dan Dara karya Usman Awang). Malaysia: Universiti Malaya.
Remak, Henry H. 1971 Comparative Literature, (Newton P. Stalltnech and Horst Prenz Ed.), Contemporarry Literature: Methode & Perspective.Illinois: Carbondale & Edwardsville
Sukada, Made. 1987. Beberapa Aspek tentang Sastra. Denpasar: Penerbit Kayumas & Yayasan Ilmu dan Seni Lesiba.
Tilak, Raghukul.1985. Background to English Literature (A Study in Literary Forms). New Delhi: Rama Brothers
Trisman, B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.