Semua naskah di blog ini telah diproteksi dari tindak salin-langsung (copy-paste)

Selasa, 07 Desember 2010

Fakta Kebahasaan di Sulawesi Selatan: Language Planning Perspektif*)

1.  Pengantar

Language planning is a deliberate effort to influence the function, structure, or acquisition of a language or language variety within a speech community.(Kaplan and Richard, 1997)  It is often associated with government planning, but is also used by a variety of non-governmental organizations, such as grass-roots organizations and even individuals. The goals of language planning differ depending on the nation or organization, but generally include making planning decisions and possibly changes for the benefit of communication. Planning or improving effective communication can also lead to other social changes such as language shift or assimilation, thereby providing another motivation to plan the structure, function and acquisition of languages.(Cobarrubias, 1983).

Hampir semua kajian tentang Language Planning merujuk apa yang pernah dikemukakan oleh Rubin and Jernudd (1971) dalam bukunya Can Language be Planned? Meskipun  istilah perencanaan bahasa atau language planning pertama kali  diperkenalkan oleh Haugen (1959). Namun Rubin and Jernudd (1971) yang memproklamirkan language planning sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan.’
Sampai pada tahun 80an, masih banyak ilmuan bahasa yang menyangsikan apa yang dikehendaki teori ini. Meski berbagai contoh kasus yang ditunjukkan, misalnya kasus bahasa Melayu di Singapore, bahasa Tagalog di Philipina, dsb, tetap saja ada yang memasalahkan epistemologi bidang ini.  

Awal tahun 2010 seorang linguist Philipina, Gonzalez, Andrew.(termasuk salah seorang yang pernah menyangsikan itu) menulis dalam bukunya Language Planning in Multilingual Countries: The case of the Philippines dengan tegas mengatakan bahwa apa yang dihipotesakan oleh Rubin dan Jernudd setelah 30 tahun lalu adalah benar, bahwa bahasa itu dapat direncanakan.

Salah satu yang amat kontroversial pada waktu itu adalah masalah  ontologi dan epistemologi ilmu ini, dan mengapa pula Language Planning dikategorikan sebagai ilmu yang bernaung di bawah payung Sosiolinguistik. Seperti diketahui bahwa Sosiolinguistik  mendeskripsikan bahasa sebagaimana adanya, sedangkan Language Planning tidak demikian, padahal ilmu ini dalam beberapa argumen tertentu berada dalam bidang applied linguistic (linguistik terapan).  

Di Indonesia sendiri, sudah banyak ilmuan bahasa yang menaruh perhatian tentang Language Planning, Antara lain; Alisjahbana, S. Takdir. 1976. Language Planning  for Modernization – The Case of Indonesian and Malaysian, Moeliono, Anton M. 1994 Indonesian Language Development and Cultivation (in Language Planning in Southeast), and Nababan, P.W.J. 1979. Language of Indonesia

2.  Teori Terkini

Sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang relatif baru, teori Language Planning juga berkembang melalui berbagai bantuan bidang ilmu lain, sebut saja, politik, sejarah, pendidikan, budaya, kearsipan, psikologi, sosiologi,  hukum, dll. Metode dan pendekatannya pun semakin beragam. Begitu luas dan kompleksnya bidang ini, maka kebanyakan penelitian (pengambilan data) dilakukan secara reductionis (taking a part from the whole), sehingga ranahnya adalah kualitatif.

Menelusuri perjalanan kesejarahan ilmu ini, kini telah tiba pengembangan yang luar biasa. Paling tidak, teori Functional Domains yang dikembangkan oleh Stewart turut meletakkan pondasi yang kokoh (secara epistemologi) bahwa arah kebijakan bahasa menuju sasaran, fungsi dan arah perencanaan bahasa.. Ke 10 Functionals Domain tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Official (Resmi) - Sebuah bahasa resmi yang berfungsi sebagai bahasa hukum untuk semua perwakilan politik dan budaya tujuan secara nasional." Sering kali, fungsi bahasa resmi ditetapkan dalam konstitusi.
  2. Provincial (Provinsi) - Sebuah fungsi bahasa daerah sebagai bahasa resmi untuk wilayah geografis yang lebih kecil dari suatu bangsa, biasanya sebuah provinsi atau wilayah (misalnya Perancis di Quebec).
  3. Wider communication (Komunikasi yang lebih luas) - Sebuah bahasa komunikasi yang lebih luas adalah bahasa yang mungkin resmi atau provinsi, tetapi yang lebih penting, fungsi sebagai media komunikasi yang melintasi batas-batas bahasa dalam suatu negara (misalnya Hindi di India, bahasa Swahili di Afrika Timur).
  4. International (Internasional) - Sebuah fungsi bahasa internasional sebagai media komunikasi melintasi batas-batas nasional (misalnya bahasa Inggris).
  5. Capital Modal - Sebuah fungsi bahasa ibu sebagai bahasa terkemuka dalam dan sekitar ibu kota (misalnya Belanda dan Perancis di Brussels)
  6. Group (Komunitas) - Sebuah fungsi bahasa sebagai bahasa konvensional di antara anggota kelompok budaya atau etnis tunggal (misalnya Ibrani di antara orang-orang Yahudi)
  7. Educational (Pendidikan) - Sebuah fungsi bahasa pendidikan sebagai pengantar di sekolah dasar dan sekolah menengah secara regional atau nasional (Urdu di Pakistan Barat dan Bengali di Pakistan Timur)
  8. School subject (Mata Pelajaran Sekolah) – Mata Pelajaran Bahasa adalah bahasa yang diajarkan di sekolah (misalnya bahasa Latin dan Yunani Kuno di sekolah-sekolah bahasa Inggris)
  9. Literary (Sastra) - Sebuah fungsi bahasa sastra sebagai bahasa untuk tujuan sastra atau ilmiah (Yunani Kuno)
  10. Religious (Agama) - Sebuah fungsi bahasa agama sebagai bahasa untuk tujuan ritual suatu agama tertentu (misalnya Latin untuk Ritus Latin dalam Gereja Katolik Roma; Arab untuk membaca Al Qur'an)
Meski sudah ada beberapa linguis yang membuat kategori tambahan, namun belum dapat menggeser popularitas apa yang diajukan oleh Stewart.


3. Sasaran Language Planning

Dari berbagai studi terdahulu,  tujuan Language Planning amat ditentukan oleh kebutuhan, objek dan tempat (wilayah) dimana Language Planning itu dilaksanakan, baik dari hal yang paling sederhana sampai kepada hal yang bersifat krusial. Ang Beng Hoo, misalnya, menyelesaikan disertasinya pada National University of Singapore dengan judul The Reform of Chinese language teaching in Singapore primary schools 1974-1984: A case study in language planning and implementation. (baca Relc, Newletter,1992 :4). Kalau boleh saya menyebut bahwa ini adalah kasus sederhana karena adanya bahasa (Chinese) yang menuntut porsi besar dalam pengajaran bahasa di tengah dominasi bahasa Inggris sebagai akibat Language Policy dari pemerintah. Yang tidak sederhana bagi seorang linguist adalah implikasi dari suatu kebijakan (secara sosiolinguis) pada saat tertentu di masa yang akan datang.

Contoh lain adalah apa yang pernah ditulis oleh James Sneddon (1994) tentang Pengajaran Bahasa Indonsia di Australia yang dianggapnya sebagai suatu putusan politis (tentu juga akdemis) karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa dari suatu negara besar.. Ada dua universitas yang dicontohkan di sini, La Trobe University, dan Griffith University, tentu secara akademis memiliki alasan yang berbeda. pula

Kasus krusial dan strategis yang akan saya ketengahkan di sini adalah Etnolinguistic Situation in East Timor (2005), Ini adalah sebuah kajian Language Planning yang menjelaskan secara ilmiah mengapa Timor Leste dalam putusan konstitusinya tidak menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara?. Jika alasannya adalah karena Timor Leste “merdeka” dari Indonesia, lalu mengapa bahasa Portugis diterima sebagai official language, dan bahasa Tetum sebagai bahasa negara, padahal bahasa Tetum pun juga tidak digunakan di seluruh wilayah Timor Leste.

Sekali lagi Language Planning paling tidak melihat masalah Language Policy dalam dua perspektif utama: 1) reformasi bahasa secara fisik/non fisik, dan  2)  Implementasi Language Policy dengan segala akibatnya. Apa yang terjadi  di Timor Leste sekarang ini, secara ekologi bahasa, Bahasa Indonesia menjadi sesuatu yang “alergis” digunakan di satu sisi, tetapi dalam komunitas tertentu, justru ditemukan satu komunitas yang menggunakan bahasa Bugis dan Makassar, yang oleh masyarakat Timor Leste menyebutnya sebagai bahasa Makkasar.

Selanjutnya, sasaran atau tujuan Language Planning, oleh para linguist merumuskannya sebagai berikut:
  1. Language Purification  (Pemurnian Bahasa) – preskripsi penggunaan dalam rangka melestarikan kemurnian "linguistik" bahasa, melindungi bahasa dari pengaruh asing, dan menjaga terhadap penyimpangan bahasa dari dalam
  2. Language Revival (Kebangkitan Bahasa) - upaya untuk mengubah bahasa karena beberapa atau habisnya penutur asli yang masih hidup, kembali ke sarana komunikasi normal
  3. Language Reform (Reformasi Bahasa) - perubahan yang disengaja dalam aspek bahasa tertentu, seperti sistem ejaan, ejaan, atau tata bahasa, untuk memfasilitasi peningkatan penggunaannya
  4. Language Standardization (Standardisasi Bahasa) - usaha untuk mengumpulkan prestise bagi sebuah bahasa daerah atau dialek, mengubahnya menjadi satu yang diterima sebagai bahasa utama, atau bahasa standar, suatu bahasa wilayah
  5. Language Spread (Penyebaran Bahasa)- usaha untuk meningkatkan jumlah penutur satu bahasa dengan mengorbankan suatu bahasa tertentu lainnya
  6. Lexical Modernization (Modernisasi Leksikal) - penciptaan kata atau adaptasi (penyerapan)
  7. Terminology Unification (Unifikasi Terminologi) - pengembangan istilah terpadu, terutama di domain teknis
  8. Stylistic Simplification (Penyederhanaan Stilistika) - penyederhanaan penggunaan bahasa dalam kosa kata, tata bahasa, dan bentuk stilistika (gaya bahasa)
  9. Interlingual Communication (Komunikasi Interlingual) - fasilitasi komunikasi linguistik antar anggota masyarakat bahasa yang berbeda
  10. Language Maintenance (Pemeliharaan Bahasa) - pelestarian penggunaan bahasa asli suatu kelompok sebagai bahasa pertama atau kedua di mana tekanan mengancam atau menyebabkan penurunan status bahasa
  11. Auxiliary-Code Standardization (Alat Bantu-Kode Standardisasi) - standardisasi marjinal, pembantu aspek bahasa seperti tanda-tanda bagi orang tuli, nama tempat, atau aturan transliterasi dan transkripsi..
(*rumusan ini saya kutip dari sumber berbahasa Inggris)
 
4.  Fakta Kebahasaan di Sulawesi Selatan

Hampir di luar pengamatan orang bahwa di Sulawesi Selatan, sejak 15 tahun terakhir ini telah lahir beberapa kebijakan kebahasaan yang dapat dikaji melalui kacamata Language Planning. Jika kita merujuk ke Functional Domains yang dikembangkan oleh Stewart, paling tidak, kasus Language Planning di Sulawesi Selatan dapat dirujuk pada dua hal yaitu Educational Domain dan School subject Domain. .Sedangkan jika ditilik dari tujuan maka paling tidak Language Planning di Sulawesi Selatan (khususnya untuk bahasa daerah) bermuara pada Language Maintenance (Pemeliharaan Bahasa), dan hal ini sejalan dengan amanah pemeliharaan dan pelestarian bahasa daerah sebagai bagian dari budaya bangsa.

Dalam pengamatan saya selama 15 tahun terakhir ini, beberapa Language Policy  sebagai fakta kebahasaan, dapat saya sebutkan seperti berikut:. 

Kurikulum pendidikan dasar (SD) tahun 1975 merupakan salah satu penyebab mundurnya keberaksaran /kepenuturan bahasa daerah. Sebelum kebijakan ini lahir, bahasa daerah masih diperkenankan digunakan sebagai bahasa pengantar  kelas-kelas awal di sekolah dasar.

5,  Gagasan di Balik Language Policy

Apa yang dikejar oleh seorang ahli Language Planning tidaklah terbatas pada sejumlah fakta bahasa tentang adanya Language Policy (baik oleh pemerintah maupun oleh pihak tertentu – pengambil kebijakan), melainkan menemukenali implikasi dari kebijakan (policy) tersebut. Itulah alasannya mengapa para peneliti Language Planning senantiasa berupaya secara maksimal menelusuri apa yang mendasari adanya suatu Language Policy. Karena berawal dari dasar suatu kebijakan, maka akan terlihat tujuan dan sasaran kebijakan itu.

Dasar kebijakan (keputusan) seperti disebutkan di atas dapat berupa Undang-Undang, Kepres, Kepmen, Permen, dan seterusnya. Dapat pula berupa Hasil Kongres, Keputusan Organisasi, yang bersifat mengikat dan memaksa komunitasnya untuk mengikuti dan memakai atau menjawab kebutuhan komunitas baik dalam jangka menengah maupun untuk jangka panjang.

Program PSGBD (Pendidikan Sarjana Guru Bahasa Daerah) yang hanya mendidik calon guru bahasa Bugis, Makassar, dan Toraja, merupakan salah satu language policy yang amat baik dalam rangka pemeliharaan bahasa (language maintain) di Sulawesi Selatan, tetapi sekaligus akan mengancam keberlangsungan penutur bahasa Mandar, Bajo, dan lainnya di Sulawesi Selatan, karena tidak lagi diajarkan di sekolah dengan alasan tidak tersedia guru.

Peran para guru bahasa daerah (alumnus Sastra Daerah pada umumnya), tidak hanya terbatas pada penyelamatan pengajaran dan keaksaraan daerah, tetapi juga penyelamatan nilai-nilai budaya daerah dalam arti luas. Diajarkannya suatu bahasa pada lembaga pendidikan, merupakan langkah kongkrit penyelamatan dan pemeliharaan suatu bahasa. Kepenuturan bahasa Bugis, Makassar, dan Toraja dapat dipastikan akan terpelihara dan dipeliharan oleh penuturnya, tetapi keaksaraan lontara sebagai bagian dari bahasa itu yang amat mencemaskan. Berdasarkan survei yang penulis lakukan pada tahun 1997, hanya 3 diantara 80 murid yang dapat menulis dan membaca aksara lontara.   

Kemudian, tugas dari para peneliti Language Planning adalah melihat tujuan kebijakan, reaksi pemakai bahasa, kemanfaatannya, implikasinya, perubahan status bahasa dsb. Gagasan di balik Language Policy bukan hanya senantiasa menguntungkan keberlangsungan bahasa itu, melainkan dapat pula sebaliknya. Language Policy bukan hanya dapat membangun bahasa melainkan dapat pula membunuh bahasa itu untuk jangka waktu tertentu. Bukan tidak mungkin Laguage Policy kelihatannya menguntungkan dalam jangka waktu tertentu tetapi justru menimbulkan masalah kebahasaan baru di masa datang. Matinya Bahasa Aboriginal Tasmania pada tahun 1858 (sumber lisan, Hamzah Machmoed) merupakan salah satu Language Policy yang cukup keji dalam kesejarahan bahasa di bumi ini. Meski ada pula bahasa yang punah karena musibah alam, seperti meletusnya Gunung Tambora, dimana seluruh penutur bahasa itu meninggal dunia. Dan punah pulalah bahasanya..    

6.  Lain Bahasa Lain Pula Masalahnya

Teori evolusi tentang seleksi alam, tampaknya lebih berlaku pada bahasa. Sejumlah bahasa ibu atau bahasa daerah di banyak negara, mulai punah seiring meninggalnya para penutur bahasa itu. (Yuwanto, 2009).

Lembaga budaya PBB UNESCO mendapati banyak bahasa nyaris punah di dunia. Bahasa terbanyak yang terancam punah berada di India, kemudian Amerika Serikat dan Indonesia. Menurut UNESCO, di Indonesia terdapat 147 bahasa yang terancam punah. Salah satu contoh yang diangkat lembaga budaya PBB adalah bahasa Lengilu di Kalimantan timur laut, dengan pembicara yang hanya mencapai empat orang. Di Indonesia bahasa yang terancam punah kebanyakan berada di wilayah Indonesia timur. (baca .wordpress.com/2009)

Penyelamatan bahasa amat ditentukan oleh penuturnya. Hal ini terlihat pada beberapa kasus punahnya suatu bahasa dilihat dari penuturnya. Sebuat saja contohnya Bahasa Eyak (Alaska-Amerika Serikat), Manx (Isle-Inggris), dan Ubykh (Turki). Marie Smith Jones merupakan salah satu contohnya. Jones (89 tahun), wanita berdarah Indian yang meninggal pada 21 Januari 2008 ini merupakan penutur terakhir bahasa Eyak, bahasa suku yang mendiami wilayah se latan Alaska, negara bagian Amerika Serikat. (Yuwanto, 2009)

Sepeninggal Jones, bahasa Eyak tak lagi dituturkan, meskipun Universitas Alaska telah menyusun  kamus bahasa Eyak. Jauh sebelum Jones meninggal. Bahasa Manx di Isle of Man, Inggris, lenyap pada 1974 setelah Ned Maddrell, penutur terakhir bahasa itu meninggal. Lenyapnya bahasa-bahasa dunia, tak hanya dialami Eyak dan Manx.,.Bahasa Ubykh di Turki menghilang karena penutur terakhir bahasa itu, Tevfik Esenc, meninggal pada 1992. Di Prancis, 13 bahasa telah masuk dalam kategori terancam. (Ibid, 2009)

Yuwanto mengklaim bahwa “yang terparah adalah di Afrika. Hampir dua pertiga bahasa di dunia, digunakan di kawasan sub- Sahara Afrika. Dan 10 persen di antaranya diperkirakan punah satu abad mendatang. Saat Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari 2009, Organisasi PBB di Bidang Pendidikan, Sains, dan Budaya (UNESCO) merilis, sekitar 2.500 bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, kini terancam punah.”

UNESCO menyebutkan, jumlah bahasa yang dipakai di Indonesia, India, AS, Brasil, dan Meksiko - negara yang banyak memiliki kekayaan ragam bahasa -  mengalami ancaman kepunahan cukup besar. Peta (Atlas) Bahasa UNESCO terkini tentang ‘’Bahasa-bahasa dalam Bahaya’’ mengklasifikasikan lima tingkatan keterancaman bahasa: Kelima level tersebut adalah 1) level tidak aman, 2)  terancam, 3) sangat terancam, 4)  kritis, dan 5)  benar-benar telah punah.

Yang menarik adalah apa yang tertuang dalam Peta Bahasa yang disusun oleh 30 ahli bahasa,  terlihat sebanyak 200 bahasa telah punah dalam tiga generasi terakhir. Dari sini pun terlihat sebanyak 538 bahasa masuk level kritis (hampir punah), 502 sangat terancam, 632 terancam, dan 607 tidak aman. Dengan daftar tersebut, kini di dunia tersisa sekitar 6.700 bahasa di dunia saat ini.

Dalam tulisan yang sama, Yuwanto (2009) menyebutkan sebanyak 200 bahasa kini hanya memiliki penutur kurang dari 10 orang, dan 178 lainnya antara 10 hingga 50 penutur. Kepunahan suatu bahasa di se tiap kawasan pun dimulai. Meski, tak semua negara mengalami tingkat keterancaman yang sama.

Seperti halnya Papua Nugini. Negara yang memiliki keragaman bahasa terbesar di planet ini lebih dari 800 bahasa dijadikan alat bertutur hanya 88 bahasa yang dalam bahaya. Hal yang juga meng gembirakan adalah bahasa Cornish di Inggris dan Sishe di Kaledonia Baru. Bahasa yang terancam punah itu kini lagi direvitaliasi dan berpotensi hidup kembali.  Seperti, bahasa Aymara dan Quechua di Peru, Maori di Selandia Baru, Gua rani di Paraguay, dan bahasa-bahasa pribumi lain di Kanada, AS, dan Meksiko.

Punahnya bahasa-bahasa itu, lanjutnya, juga telah merebut keanekaragaman manusia, yang telah menyebarkan banyak pengetahuan tentang alam dan semesta. Bahkan, mantan presiden Prancis, Jacques Chirac, pernah menyatakan ancaman kepunahan bahasa di dunia itu sebagai  major risk for humanity, musibah besar bagi kemanusiaan. Bagaimana dengan di Tanah Air? Dari 746 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang.

Dalam catatan Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono, di Papua ada sembilan bahasa yang punah dan Maluku Utara satu bahasa. Di Papua, rinciannya: bahasa Bapu, Darbe, dan Wares (Kabupaten Sarmi); Taworta dan Waritai (Jayapura); Murkim dan Walak (Jayawijaya); Meoswar (Manokwari); Loegenyem (Rajaampat). Di Maluku Utara yang punah adalah bahasa Ibu.

Adapun yang berpotensi punah di Papua berjumlah 32 bahasa. Ini karena jumlah penutur bahasa itu antara 2 sampai 100 orang. Rincian bahasa yang terancam punah: di Sarmi (10 bahasa), Jayapura (6 bahasa), Waropeng (7 bahasa), Jaya Wijaya (3 bahasa), Merauke (1 bahasa), Paniai (1 bahasa), Teluk Wondana (2 bahasa), Sorong Selatan (1 bahasa), dan Fakfak (1 bahasa). Satu bahasa Maluku utara yang terancam punah adalah bahasa Kau. ‘’Itu baru sebagian di wilayah Indonesia timur, belum di bagian barat dan tengah,’’ (Baca, Depdiknas).

Pusat Bahasa, ujar Dendy, sudah membakukan 405 ribu istilah dan 91 ribu kata umum yang merupakan serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Saat ini, bahasa ibu dengan penutur kategori sedikit - antara 100 hingga 100 ribu penutur - memang cenderung punah.
Sejak 1974, ungkapnya, Pusat Bahasa telah meneliti 442 bahasa daerah. Saat ini, lebih dari 300 bahasa daerah diteliti kembali, seperti di Maluku Utara, Maluku, Irian Jaya Barat, Papua, dan NTT. ‘’Target kami, pada 2014, penelitian dan pemetaan bahasa di Indonesia bisa selesai.

Agar tidak pelan-pelan lenyap, penggunaan bahasa daerah harus digiatkan, terutama di kalangan penuturnya. Sebab, punahnya bahasa daerah juga berarti hilangnya sebagian kebudayaan dan nilai serta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. ‘’Anak-anak muda telah meninggalkan bahasa ibu nya. Ini memang tak lepas dari pengaruh globalisasi,’’ katanya.

Dengan  demikian tidak ada alasan bagi kita semua kecuali kita membina dan menyelamatkan bahasa daerah yang kita miliki. Hal ini bukan hanya tanggungjawab pemerintah tetapi menjadi tanggungjawab kolektif. Salah satu kerja nyata dri penyelamatan (pemeliharaan itu) adalah berupa i) Pendidikan. pengajaran bahasa daerah di sekolah, ii) Kesastraan. Penulisan sastra berbahasa daerah, dan iii) Antropolinguistis. Pelestarian kegiatan budaya (yang dilaksanakan dengan menggunakan bahasa lokal)

6. Catatan Penutup

Sebagai sebuah inisiasi, tulisan ini belum memfokuskan diri pada kerangka berpikir baik teoritis maupun fragmatik. Namun demikian, paling tidak ada beberapa hal yang patut digaris bawahi antara lain sebagai berikut:
a) Dalam kasus kebahasaan di Sulawesi Selatan, hal yang tidak dapat diabaikan adalah masalah baca tulis aksara lontara, hasil survei tahun 2007 yang menunjukkan hanya 3 diantara 80 murid yang dapat menulis dan membaca aksara Lontara merupakan sesuatu yang amat menyedihkan.
b) Kebijakan bahasa pemerintah Sulawesi Selatan dalam hal pembinaan calon guru bahasa daerah di Sulawesi Selatan merupakan sebuah langkah yang amat baik, meskipun memiliki berbagai kelemahan.
c) Punahnya suatu bahasa, jelas amat mengkhawatirkan, karena menyebabkan hilangnya berbagai bentuk warisan budaya, khususnya warisan tradisi lisan dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya. (sastra lisan, sajak-sajak dan cerita hingga peribahasa dan ungkapan-unkapan leluhur)
d) Penulis menawarkan konsepsi pemeliharaan (penyelamatan) bahasa daerah melalui tiga kerja nyata: Pendidikan, Kesastraan, dan Antropolinguistis..Melalui jalur pendidikan, kini sementara kita lakukan.

Demikian gagasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Bahan Bacaan

Abas, Husen. 1987. Indonesian as a Unifiying Language of Wider Communication: A Historical and Socilinguistic Perspective. (Materials in Languages of Indonesia. No.37 – W.A.L. Stolchof, Series Editor). Australia: Department of Linguistics – Reasearch School of Pacific Studies – The Australian National University. 

Baso, Yusring. Perlukah Aksara Lontarak Diformulasi? http://www.unhas.ac.id/arab/lontara.php?dbs=lontara&hd=1&SRC=lontara

Coronel-Molina, Serafin M. "Functional Domains of the Quechua Language in Peru: Issues of Status Planning." University of Pennsylvania

Coronel-Molina, Serafin M. (1996). “Corpus Planning for the Southern Peruvian Quechua Language.” Working Papers in Educational Linguistics, 12 (2), pp 1-27.

Cooper, R. L. Language Planning and Social Change. New York: Cambridge University Press, 1989.

Cobarrubius, Juan & Joshua Fishman, eds. Progress in Language Planning: International Perspective. The Hague: Mouton, 1983.

Gonzalez, Andrew. 2010. Language Planning in Multilingual Countries: The case of the Philippines. (www.languageplanning)

--------------- 1992. Relc, Newletter,1992 :4) -------------------------------------------.

Hornberger, Nancy and Kendell A. King. "Authenticity and Unification in Quechua Language Planning." University of Pennsylvania: 1998.

Kaplan B., Robert, and Richard B. Baldauf Jr. Language Planning from Practice to Theory. Clevedon: Multilingual Matters ltd., 1997

Liddicoat, Anthony J., and Richard B. Baldauf, Jr., “Language Planning in Local Contexts: Agents, Contexts and Interactions.” Language
Planning in Local Contexts. Ed. Anthony J. Liddicoat and Richard B. Baldauf, Jr. Clevedon: Multilingual Matters Ltd., 2008

Mac Giolla Chriost, Diarmait. “Micro-level Language Planning in Ireland.” Language Planning in Local Contexts Ed. Anthony J. Liddicoat and Richard B. Baldauf, Jr. Clevedon: Multilingual Matters Ltd., 2008

------¬¬----------- 2009. 147 Bahasa Terancam Punah di Indonesia.  http://vgsiahaya. wordpress.com/2009/02/23/147-bahasa-terancam-punah-di-indonesia/

Maknun, Tadjuddin, 2007. “Menyempurnakan Aksara Lontarak untuk memudahkan pemahaman Lontarak” Makalah Kongres Bahasa bahasa Daerah Sulawesi Selatan pada tanggal 22-25 Juli 2007 di Makassar.

Rahman, Fathu. 1997. Kepenuturan Bahasa Daerah: Survei Sosiolinguistik. Makassar: Program Pascasarjana Unhas (Makalah tidak dipublikasikan.).

Rubin, Joan, Björn H. Jernudd, Jyotirindra Das Gupta, Joshua A. Fishman and Charles A. Ferguson, eds. Language Planning Processes. The Hague: Mouton Publishers, 1977.

Yuwanto, Endro. 2009.  ANCAMAN PUNAHNYA BAHASA DUNIA, Posted on 3 November 2009 by dekadeku (dimuat di Republika, Kamis, 05 Maret 2009)

*)Makalah disampaikan pada Seminar Internasional “Peranan Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin dalam menciptakan Keberaksaraan Bahasa, Sastra dan Budaya Lokal di Era Interaksi Global”. Makassar, 8-9 November 2010.

Fakta Kebahasaan di Sulawesi Selatan: Language Planning Perspektif

Fakta Kebahasaan di Sulawesi Selatan:
Language Planning Perspektif

1.  Pengantar

Language planning is a deliberate effort to influence the function, structure, or acquisition of a language or language variety within a speech community.(Kaplan and Richard, 1997)  It is often associated with government planning, but is also used by a variety of non-governmental organizations, such as grass-roots organizations and even individuals. The goals of language planning differ depending on the nation or organization, but generally include making planning decisions and possibly changes for the benefit of communication. Planning or improving effective communication can also lead to other social changes such as language shift or assimilation, thereby providing another motivation to plan the structure, function and acquisition of languages.(Cobarrubias, 1983).

Hampir semua kajian tentang Language Planning merujuk apa yang pernah dikemukakan oleh Rubin and Jernudd (1971) dalam bukunya Can Language be Planned? Meskipun  istilah perencanaan bahasa atau language planning pertama kali  diperkenalkan oleh Haugen (1959). Namun Rubin and Jernudd (1971) yang memproklamirkan language planning sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan.’
Sampai pada tahun 80an, masih banyak ilmuan bahasa yang menyangsikan apa yang dikehendaki teori ini. Meski berbagai contoh kasus yang ditunjukkan, misalnya kasus bahasa Melayu di Singapore, bahasa Tagalog di Philipina, dsb, tetap saja ada yang memasalahkan epistemologi bidang ini.

Awal tahun 2010 seorang linguist Philipina, Gonzalez, Andrew.(termasuk salah seorang yang pernah menyangsikan itu) menulis dalam bukunya Language Planning in Multilingual Countries: The case of the Philippines dengan tegas mengatakan bahwa apa yang dihipotesakan oleh Rubin dan Jernudd setelah 30 tahun lalu adalah benar, bahwa bahasa itu dapat direncanakan.

Salah satu yang amat kontroversial pada waktu itu adalah masalah  ontologi dan epistemologi ilmu ini, dan mengapa pula Language Planning dikategorikan sebagai ilmu yang bernaung di bawah payung Sosiolinguistik. Seperti diketahui bahwa Sosiolinguistik  mendeskripsikan bahasa sebagaimana adanya, sedangkan Language Planning tidak demikian, padahal ilmu ini dalam beberapa argumen tertentu berada dalam bidang applied linguistic (linguistik terapan).

Di Indonesia sendiri, sudah banyak ilmuan bahasa yang menaruh perhatian tentang Language Planning, Antara lain; Alisjahbana, S. Takdir. 1976. Language Planning  for Modernization – The Case of Indonesian and Malaysian, Moeliono, Anton M. 1994 Indonesian Language Development and Cultivation (in Language Planning in Southeast), and Nababan, P.W.J. 1979. Language of Indonesia

2.  Teori Terkini

Sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang relatif baru, teori Language Planning juga berkembang melalui berbagai bantuan bidang ilmu lain, sebut saja, politik, sejarah, pendidikan, budaya, kearsipan, psikologi, sosiologi,  hukum, dll. Metode dan pendekatannya pun semakin beragam. Begitu luas dan kompleksnya bidang ini, maka kebanyakan penelitian (pengambilan data) dilakukan secara reductionis (taking a part from the whole), sehingga ranahnya adalah kualitatif.

Menelusuri perjalanan kesejarahan ilmu ini, kini telah tiba pengembangan yang luar biasa. Paling tidak, teori Functional Domains yang dikembangkan oleh Stewart turut meletakkan pondasi yang kokoh (secara epistemologi) bahwa arah kebijakan bahasa menuju sasaran, fungsi dan arah perencanaan bahasa.. Ke 10 Functionals Domain tersebut adalah sebagai berikut:

1.Official (Resmi) - Sebuah bahasa resmi yang berfungsi sebagai bahasa hukum untuk semua perwakilan politik dan budaya tujuan secara nasional." Sering kali, fungsi bahasa resmi ditetapkan dalam konstitusi.
2.Provincial (Provinsi) - Sebuah fungsi bahasa daerah sebagai bahasa resmi untuk wilayah geografis yang lebih kecil dari suatu bangsa, biasanya sebuah provinsi atau wilayah (misalnya Perancis di Quebec).
3.Wider communication (Komunikasi yang lebih luas) - Sebuah bahasa komunikasi yang lebih luas adalah bahasa yang mungkin resmi atau provinsi, tetapi yang lebih penting, fungsi sebagai media komunikasi yang melintasi batas-batas bahasa dalam suatu negara (misalnya Hindi di India, bahasa Swahili di Afrika Timur).
4. International (Internasional) - Sebuah fungsi bahasa internasional sebagai media komunikasi melintasi batas-batas nasional (misalnya bahasa Inggris).
5. Capital Modal - Sebuah fungsi bahasa ibu sebagai bahasa terkemuka dalam dan sekitar ibu kota (misalnya Belanda dan Perancis di Brussels)
6. Group (Komunitas) - Sebuah fungsi bahasa sebagai bahasa konvensional di antara anggota kelompok budaya atau etnis tunggal (misalnya Ibrani di antara orang-orang Yahudi)
7. Educational (Pendidikan) - Sebuah fungsi bahasa pendidikan sebagai pengantar di sekolah dasar dan sekolah menengah secara regional atau nasional (Urdu di Pakistan Barat dan Bengali di Pakistan Timur)
8. School subject (Mata Pelajaran Sekolah) – Mata Pelajaran Bahasa adalah bahasa yang diajarkan di sekolah (misalnya bahasa Latin dan Yunani Kuno di sekolah-sekolah bahasa Inggris)
9. Literary (Sastra) - Sebuah fungsi bahasa sastra sebagai bahasa untuk tujuan sastra atau ilmiah (Yunani Kuno)
10. Religious (Agama) - Sebuah fungsi bahasa agama sebagai bahasa untuk tujuan ritual suatu agama tertentu (misalnya Latin untuk Ritus Latin dalam Gereja Katolik Roma; Arab untuk membaca Al Qur'an)

Meski sudah ada beberapa linguis yang membuat kategori tambahan, namun belum dapat menggeser popularitas apa yang diajukan oleh Stewart.

3. Sasaran Language Planning

Dari berbagai studi terdahulu,  tujuan Language Planning amat ditentukan oleh kebutuhan, objek dan tempat (wilayah) dimana Language Planning itu dilaksanakan, baik dari hal yang paling sederhana sampai kepada hal yang bersifat krusial. Ang Beng Hoo, misalnya, menyelesaikan disertasinya pada National University of Singapore dengan judul The Reform of Chinese language teaching in Singapore primary schools 1974-1984: A case study in language planning and implementation. (baca Relc, Newletter,1992 :4). Kalau boleh saya menyebut bahwa ini adalah kasus sederhana karena adanya bahasa (Chinese) yang menuntut porsi besar dalam pengajaran bahasa di tengah dominasi bahasa Inggris sebagai akibat Language Policy dari pemerintah. Yang tidak sederhana bagi seorang linguist adalah implikasi dari suatu kebijakan (secara sosiolinguis) pada saat tertentu di masa yang akan datang.

Contoh lain adalah apa yang pernah ditulis oleh James Sneddon (1994) tentang Pengajaran Bahasa Indonsia di Australia yang dianggapnya sebagai suatu putusan politis (tentu juga akdemis) karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa dari suatu negara besar.. Ada dua universitas yang dicontohkan di sini, La Trobe University, dan Griffith University, tentu secara akademis memiliki alasan yang berbeda. pula

Kasus krusial dan strategis yang akan saya ketengahkan di sini adalah Etnolinguistic Situation in East Timor (2005), Ini adalah sebuah kajian Language Planning yang menjelaskan secara ilmiah mengapa Timor Leste dalam putusan konstitusinya tidak menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara?. Jika alasannya adalah karena Timor Leste “merdeka” dari Indonesia, lalu mengapa bahasa Portugis diterima sebagai official language, dan bahasa Tetum sebagai bahasa negara, padahal bahasa Tetum pun juga tidak digunakan di seluruh wilayah Timor Leste.

Sekali lagi Language Planning paling tidak melihat masalah Language Policy dalam dua perspektif utama: 1) reformasi bahasa secara fisik/non fisik, dan  2)  Implementasi Language Policy dengan segala akibatnya. Apa yang terjadi  di Timor Leste sekarang ini, secara ekologi bahasa, Bahasa Indonesia menjadi sesuatu yang “alergis” digunakan di satu sisi, tetapi dalam komunitas tertentu, justru ditemukan satu komunitas yang menggunakan bahasa Bugis dan Makassar, yang oleh masyarakat Timor Leste menyebutnya sebagai bahasa Makkasar.

Selanjutnya, sasaran atau tujuan Language Planning, oleh para linguist merumuskannya sebagai berikut:
1. Language Purification  (Pemurnian Bahasa) – preskripsi penggunaan dalam rangka melestarikan kemurnian "linguistik" bahasa, melindungi bahasa dari pengaruh asing, dan menjaga terhadap penyimpangan bahasa dari dalam
2. Language Revival (Kebangkitan Bahasa) - upaya untuk mengubah bahasa karena beberapa atau habisnya penutur asli yang masih hidup, kembali ke sarana komunikasi normal
3. Language Reform (Reformasi Bahasa) - perubahan yang disengaja dalam aspek bahasa tertentu, seperti sistem ejaan, ejaan, atau tata bahasa, untuk memfasilitasi peningkatan penggunaannya
4. Language Standardization (Standardisasi Bahasa) - usaha untuk mengumpulkan prestise bagi sebuah bahasa daerah atau dialek, mengubahnya menjadi satu yang diterima sebagai bahasa utama, atau bahasa standar, suatu bahasa wilayah
5. Language Spread (Penyebaran Bahasa)- usaha untuk meningkatkan jumlah penutur satu bahasa dengan mengorbankan suatu bahasa tertentu lainnya
6. Lexical Modernization (Modernisasi Leksikal) - penciptaan kata atau adaptasi (penyerapan)
7. Terminology Unification (Unifikasi Terminologi) - pengembangan istilah terpadu, terutama di domain teknis
8. Stylistic Simplification (Penyederhanaan Stilistika) - penyederhanaan penggunaan bahasa dalam kosa kata, tata bahasa, dan bentuk stilistika (gaya bahasa)
9. Interlingual Communication (Komunikasi Interlingual) - fasilitasi komunikasi linguistik antar anggota masyarakat bahasa yang berbeda
10. Language Maintenance (Pemeliharaan Bahasa) - pelestarian penggunaan bahasa asli suatu kelompok sebagai bahasa pertama atau kedua di mana tekanan mengancam atau menyebabkan penurunan status bahasa
11. Auxiliary-Code Standardization (Alat Bantu-Kode Standardisasi) - standardisasi marjinal, pembantu aspek bahasa seperti tanda-tanda bagi orang tuli, nama tempat, atau aturan transliterasi dan transkripsi..
(*rumusan ini saya kutip dari sumber berbahasa Inggris)
 
4.  Fakta Kebahasaan di Sulawesi Selatan

Hampir di luar pengamatan orang bahwa di Sulawesi Selatan, sejak 15 tahun terakhir ini telah lahir beberapa kebijakan kebahasaan yang dapat dikaji melalui kacamata Language Planning. Jika kita merujuk ke Functional Domains yang dikembangkan oleh Stewart, paling tidak, kasus Language Planning di Sulawesi Selatan dapat dirujuk pada dua hal yaitu Educational Domain dan School subject Domain. .Sedangkan jika ditilik dari tujuan maka paling tidak Language Planning di Sulawesi Selatan (khususnya untuk bahasa daerah) bermuara pada Language Maintenance (Pemeliharaan Bahasa), dan hal ini sejalan dengan amanah pemeliharaan dan pelestarian bahasa daerah sebagai bagian dari budaya bangsa.

Dalam pengamatan saya selama 15 tahun terakhir ini, beberapa Language Policy  sebagai fakta kebahasaan, dapat saya sebutkan seperti berikut:.

TABEL

Kurikulum pendidikan dasar (SD) tahun 1975 merupakan salah satu penyebab mundurnya keberaksaran /kepenuturan bahasa daerah. Sebelum kebijakan ini lahir, bahasa daerah masih diperkenankan digunakan sebagai bahasa pengantar  kelas-kelas awal di sekolah dasar.

5,  Gagasan di Balik Language Policy

Apa yang dikejar oleh seorang ahli Language Planning tidaklah terbatas pada sejumlah fakta bahasa tentang adanya Language Policy (baik oleh pemerintah maupun oleh pihak tertentu – pengambil kebijakan), melainkan menemukenali implikasi dari kebijakan (policy) tersebut. Itulah alasannya mengapa para peneliti Language Planning senantiasa berupaya secara maksimal menelusuri apa yang mendasari adanya suatu Language Policy. Karena berawal dari dasar suatu kebijakan, maka akan terlihat tujuan dan sasaran kebijakan itu.

Dasar kebijakan (keputusan) seperti disebutkan di atas dapat berupa Undang-Undang, Kepres, Kepmen, Permen, dan seterusnya. Dapat pula berupa Hasil Kongres, Keputusan Organisasi, yang bersifat mengikat dan memaksa komunitasnya untuk mengikuti dan memakai atau menjawab kebutuhan komunitas baik dalam jangka menengah maupun untuk jangka panjang.

Program PSGBD (Pendidikan Sarjana Guru Bahasa Daerah) yang hanya mendidik calon guru bahasa Bugis, Makassar, dan Toraja, merupakan salah satu language policy yang amat baik dalam rangka pemeliharaan bahasa (language maintain) di Sulawesi Selatan, tetapi sekaligus akan mengancam keberlangsungan penutur bahasa Mandar, Bajo, dan lainnya di Sulawesi Selatan, karena tidak lagi diajarkan di sekolah dengan alasan tidak tersedia guru.

Peran para guru bahasa daerah (alumnus Sastra Daerah pada umumnya), tidak hanya terbatas pada penyelamatan pengajaran dan keaksaraan daerah, tetapi juga penyelamatan nilai-nilai budaya daerah dalam arti luas. Diajarkannya suatu bahasa pada lembaga pendidikan, merupakan langkah kongkrit penyelamatan dan pemeliharaan suatu bahasa. Kepenuturan bahasa Bugis, Makassar, dan Toraja dapat dipastikan akan terpelihara dan dipeliharan oleh penuturnya, tetapi keaksaraan lontara sebagai bagian dari bahasa itu yang amat mencemaskan. Berdasarkan survei yang penulis lakukan pada tahun 1997, hanya 3 diantara 80 murid yang dapat menulis dan membaca aksara lontara.  

Kemudian, tugas dari para peneliti Language Planning adalah melihat tujuan kebijakan, reaksi pemakai bahasa, kemanfaatannya, implikasinya, perubahan status bahasa dsb. Gagasan di balik Language Policy bukan hanya senantiasa menguntungkan keberlangsungan bahasa itu, melainkan dapat pula sebaliknya. Language Policy bukan hanya dapat membangun bahasa melainkan dapat pula membunuh bahasa itu untuk jangka waktu tertentu. Bukan tidak mungkin Laguage Policy kelihatannya menguntungkan dalam jangka waktu tertentu tetapi justru menimbulkan masalah kebahasaan baru di masa datang. Matinya Bahasa Aboriginal Tasmania pada tahun 1858 (sumber lisan, Hamzah Machmoed) merupakan salah satu Language Policy yang cukup keji dalam kesejarahan bahasa di bumi ini. Meski ada pula bahasa yang punah karena musibah alam, seperti meletusnya Gunung Tambora, dimana seluruh penutur bahasa itu meninggal dunia. Dan punah pulalah bahasanya..   

6.  Lain Bahasa Lain Pula Masalahnya

Teori evolusi tentang seleksi alam, tampaknya lebih berlaku pada bahasa. Sejumlah bahasa ibu atau bahasa daerah di banyak negara, mulai punah seiring meninggalnya para penutur bahasa itu. (Yuwanto, 2009).

Lembaga budaya PBB UNESCO mendapati banyak bahasa nyaris punah di dunia. Bahasa terbanyak yang terancam punah berada di India, kemudian Amerika Serikat dan Indonesia. Menurut UNESCO, di Indonesia terdapat 147 bahasa yang terancam punah. Salah satu contoh yang diangkat lembaga budaya PBB adalah bahasa Lengilu di Kalimantan timur laut, dengan pembicara yang hanya mencapai empat orang. Di Indonesia bahasa yang terancam punah kebanyakan berada di wilayah Indonesia timur. (baca .wordpress.com/2009)

Penyelamatan bahasa amat ditentukan oleh penuturnya. Hal ini terlihat pada beberapa kasus punahnya suatu bahasa dilihat dari penuturnya. Sebuat saja contohnya Bahasa Eyak (Alaska-Amerika Serikat), Manx (Isle-Inggris), dan Ubykh (Turki). Marie Smith Jones merupakan salah satu contohnya. Jones (89 tahun), wanita berdarah Indian yang meninggal pada 21 Januari 2008 ini merupakan penutur terakhir bahasa Eyak, bahasa suku yang mendiami wilayah se latan Alaska, negara bagian Amerika Serikat. (Yuwanto, 2009)

Sepeninggal Jones, bahasa Eyak tak lagi dituturkan, meskipun Universitas Alaska telah menyusun  kamus bahasa Eyak. Jauh sebelum Jones meninggal. Bahasa Manx di Isle of Man, Inggris, lenyap pada 1974 setelah Ned Maddrell, penutur terakhir bahasa itu meninggal. Lenyapnya bahasa-bahasa dunia, tak hanya dialami Eyak dan Manx.,.Bahasa Ubykh di Turki menghilang karena penutur terakhir bahasa itu, Tevfik Esenc, meninggal pada 1992. Di Prancis, 13 bahasa telah masuk dalam kategori terancam. (Ibid, 2009)

Yuwanto mengklaim bahwa “yang terparah adalah di Afrika. Hampir dua pertiga bahasa di dunia, digunakan di kawasan sub- Sahara Afrika. Dan 10 persen di antaranya diperkirakan punah satu abad mendatang. Saat Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari 2009, Organisasi PBB di Bidang Pendidikan, Sains, dan Budaya (UNESCO) merilis, sekitar 2.500 bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, kini terancam punah.”

UNESCO menyebutkan, jumlah bahasa yang dipakai di Indonesia, India, AS, Brasil, dan Meksiko - negara yang banyak memiliki kekayaan ragam bahasa -  mengalami ancaman kepunahan cukup besar. Peta (Atlas) Bahasa UNESCO terkini tentang ‘’Bahasa-bahasa dalam Bahaya’’ mengklasifikasikan lima tingkatan keterancaman bahasa: Kelima level tersebut adalah 1) level tidak aman, 2)  terancam, 3) sangat terancam, 4)  kritis, dan 5)  benar-benar telah punah.

Yang menarik adalah apa yang tertuang dalam Peta Bahasa yang disusun oleh 30 ahli bahasa,  terlihat sebanyak 200 bahasa telah punah dalam tiga generasi terakhir. Dari sini pun terlihat sebanyak 538 bahasa masuk level kritis (hampir punah), 502 sangat terancam, 632 terancam, dan 607 tidak aman. Dengan daftar tersebut, kini di dunia tersisa sekitar 6.700 bahasa di dunia saat ini.

Dalam tulisan yang sama, Yuwanto (2009) menyebutkan sebanyak 200 bahasa kini hanya memiliki penutur kurang dari 10 orang, dan 178 lainnya antara 10 hingga 50 penutur. Kepunahan suatu bahasa di se tiap kawasan pun dimulai. Meski, tak semua negara mengalami tingkat keterancaman yang sama.

Seperti halnya Papua Nugini. Negara yang memiliki keragaman bahasa terbesar di planet ini lebih dari 800 bahasa dijadikan alat bertutur hanya 88 bahasa yang dalam bahaya. Hal yang juga meng gembirakan adalah bahasa Cornish di Inggris dan Sishe di Kaledonia Baru. Bahasa yang terancam punah itu kini lagi direvitaliasi dan berpotensi hidup kembali.  Seperti, bahasa Aymara dan Quechua di Peru, Maori di Selandia Baru, Gua rani di Paraguay, dan bahasa-bahasa pribumi lain di Kanada, AS, dan Meksiko.

Punahnya bahasa-bahasa itu, lanjutnya, juga telah merebut keanekaragaman manusia, yang telah menyebarkan banyak pengetahuan tentang alam dan semesta. Bahkan, mantan presiden Prancis, Jacques Chirac, pernah menyatakan ancaman kepunahan bahasa di dunia itu sebagai  major risk for humanity, musibah besar bagi kemanusiaan. Bagaimana dengan di Tanah Air? Dari 746 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang.

Dalam catatan Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono, di Papua ada sembilan bahasa yang punah dan Maluku Utara satu bahasa. Di Papua, rinciannya: bahasa Bapu, Darbe, dan Wares (Kabupaten Sarmi); Taworta dan Waritai (Jayapura); Murkim dan Walak (Jayawijaya); Meoswar (Manokwari); Loegenyem (Rajaampat). Di Maluku Utara yang punah adalah bahasa Ibu.

Adapun yang berpotensi punah di Papua berjumlah 32 bahasa. Ini karena jumlah penutur bahasa itu antara 2 sampai 100 orang. Rincian bahasa yang terancam punah: di Sarmi (10 bahasa), Jayapura (6 bahasa), Waropeng (7 bahasa), Jaya Wijaya (3 bahasa), Merauke (1 bahasa), Paniai (1 bahasa), Teluk Wondana (2 bahasa), Sorong Selatan (1 bahasa), dan Fakfak (1 bahasa). Satu bahasa Maluku utara yang terancam punah adalah bahasa Kau. ‘’Itu baru sebagian di wilayah Indonesia timur, belum di bagian barat dan tengah,’’ (Baca, Depdiknas).

Pusat Bahasa, ujar Dendy, sudah membakukan 405 ribu istilah dan 91 ribu kata umum yang merupakan serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Saat ini, bahasa ibu dengan penutur kategori sedikit - antara 100 hingga 100 ribu penutur - memang cenderung punah.
Sejak 1974, ungkapnya, Pusat Bahasa telah meneliti 442 bahasa daerah. Saat ini, lebih dari 300 bahasa daerah diteliti kembali, seperti di Maluku Utara, Maluku, Irian Jaya Barat, Papua, dan NTT. ‘’Target kami, pada 2014, penelitian dan pemetaan bahasa di Indonesia bisa selesai.

Agar tidak pelan-pelan lenyap, penggunaan bahasa daerah harus digiatkan, terutama di kalangan penuturnya. Sebab, punahnya bahasa daerah juga berarti hilangnya sebagian kebudayaan dan nilai serta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. ‘’Anak-anak muda telah meninggalkan bahasa ibu nya. Ini memang tak lepas dari pengaruh globalisasi,’’ katanya.

Dengan  demikian tidak ada alasan bagi kita semua kecuali kita membina dan menyelamatkan bahasa daerah yang kita miliki. Hal ini bukan hanya tanggungjawab pemerintah tetapi menjadi tanggungjawab kolektif. Salah satu kerja nyata dri penyelamatan (pemeliharaan itu) adalah berupa i) Pendidikan. pengajaran bahasa daerah di sekolah, ii) Kesastraan. Penulisan sastra berbahasa daerah, dan iii) Antropolinguistis. Pelestarian kegiatan budaya (yang dilaksanakan dengan menggunakan bahasa lokal)

6. Catatan Penutup

Sebagai sebuah inisiasi, tulisan ini belum memfokuskan diri pada kerangka berpikir baik teoritis maupun fragmatik. Namun demikian, paling tidak ada beberapa hal yang patut digaris bawahi antara lain sebagai berikut:
a) Dalam kasus kebahasaan di Sulawesi Selatan, hal yang tidak dapat diabaikan adalah masalah baca tulis aksara lontara, hasil survei tahun 2007 yang menunjukkan hanya 3 diantara 80 murid yang dapat menulis dan membaca aksara Lontara merupakan sesuatu yang amat menyedihkan.
b) Kebijakan bahasa pemerintah Sulawesi Selatan dalam hal pembinaan calon guru bahasa daerah di Sulawesi Selatan merupakan sebuah langkah yang amat baik, meskipun memiliki berbagai kelemahan.
c) Punahnya suatu bahasa, jelas amat mengkhawatirkan, karena menyebabkan hilangnya berbagai bentuk warisan budaya, khususnya warisan tradisi lisan dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya. (sastra lisan, sajak-sajak dan cerita hingga peribahasa dan ungkapan-unkapan leluhur)
d) Penulis menawarkan konsepsi pemeliharaan (penyelamatan) bahasa daerah melalui tiga kerja nyata: Pendidikan, Kesastraan, dan Antropolinguistis..Melalui jalur pendidikan, kini sementara kita lakukan.

Demikian gagasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Bahan Bacaan

Abas, Husen. 1987. Indonesian as a Unifiying Language of Wider Communication: A Historical and Socilinguistic Perspective. (Materials in Languages of Indonesia. No.37 – W.A.L. Stolchof, Series Editor). Australia: Department of Linguistics – Reasearch School of Pacific Studies – The Australian National University.

Baso, Yusring. Perlukah Aksara Lontarak Diformulasi? http://www.unhas.ac.id/arab/lontara.php?dbs=lontara&hd=1&SRC=lontara

Coronel-Molina, Serafin M. "Functional Domains of the Quechua Language in Peru: Issues of Status Planning." University of Pennsylvania

Coronel-Molina, Serafin M. (1996). “Corpus Planning for the Southern Peruvian Quechua Language.” Working Papers in Educational Linguistics, 12 (2), pp 1-27.

Cooper, R. L. Language Planning and Social Change. New York: Cambridge University Press, 1989.

Cobarrubius, Juan & Joshua Fishman, eds. Progress in Language Planning: International Perspective. The Hague: Mouton, 1983.

Gonzalez, Andrew. 2010. Language Planning in Multilingual Countries: The case of the Philippines. (www.languageplanning)

--------------- 1992. Relc, Newletter,1992 :4) -------------------------------------------.

Hornberger, Nancy and Kendell A. King. "Authenticity and Unification in Quechua Language Planning." University of Pennsylvania: 1998.

Kaplan B., Robert, and Richard B. Baldauf Jr. Language Planning from Practice to Theory. Clevedon: Multilingual Matters ltd., 1997

Liddicoat, Anthony J., and Richard B. Baldauf, Jr., “Language Planning in Local Contexts: Agents, Contexts and Interactions.” Language
Planning in Local Contexts. Ed. Anthony J. Liddicoat and Richard B. Baldauf, Jr. Clevedon: Multilingual Matters Ltd., 2008

Mac Giolla Chriost, Diarmait. “Micro-level Language Planning in Ireland.” Language Planning in Local Contexts Ed. Anthony J. Liddicoat and Richard B. Baldauf, Jr. Clevedon: Multilingual Matters Ltd., 2008

------¬¬----------- 2009. 147 Bahasa Terancam Punah di Indonesia.  http://vgsiahaya. wordpress.com/2009/02/23/147-bahasa-terancam-punah-di-indonesia/

Maknun, Tadjuddin, 2007. “Menyempurnakan Aksara Lontarak untuk memudahkan pemahaman Lontarak” Makalah Kongres Bahasa bahasa Daerah Sulawesi Selatan pada tanggal 22-25 Juli 2007 di Makassar.

Rahman, Fathu. 1997. Kepenuturan Bahasa Daerah: Survei Sosiolinguistik. Makassar: Program Pascasarjana Unhas (Makalah tidak dipublikasikan.).

Rubin, Joan, Björn H. Jernudd, Jyotirindra Das Gupta, Joshua A. Fishman and Charles A. Ferguson, eds. Language Planning Processes. The Hague: Mouton Publishers, 1977.

Yuwanto, Endro. 2009.  ANCAMAN PUNAHNYA BAHASA DUNIA, Posted on 3 November 2009 by dekadeku (dimuat di Republika, Kamis, 05 Maret 2009)

*)Makalah disampaikan pada Seminar Internasional “Peranan Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin dalam menciptakan Keberaksaraan Bahasa, Sastra dan Budaya Lokal di Era Interaksi Global”. Makassar, 8-9 November 2010.