Menggeledah Peran Sastra
dalam Pembentukan Karakter Bangsa
Fathu Rahman
Sekedar Pembuka
Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang ramah dan santun. Wah!, siapa bilang? Bangsa ini bangsa
bringas, itu kata siapa? Bangsa ini bangsa yang beradab, apa betul? Bangsa ini
berbudaya, apa? Bangsa ini …??, dan sejumlah lagi julukannya. Memang banyak
predikasi bangsa ini yang perlu dibaca ulang. Pernyataan-pernyataan itu tidak
ada yang salah. Yang pasti bangsa ini sedang meradang. Bangsa ini penuh dengan
bahasa iklan,
Ketika semua orang menyadari bahwa
bangsa Indonesia tengah dilanda ‘keterpurukan, sejumlah kalangan; dunia
pendidikan, tokoh agama, dan pemimpin umat, budayaan dan kalangan pemerhati
bangsa secara sendiri-sendiri atau bersama mencari akar masalahnya. Korupsi
merajalela, dari semua lapisan. Ada departemen yang diharap dapat memberi pencerahan,
justru diduga sebagai departemen terkorup di Indonesia. Sangat mencengangkan. Dan
mereka (kalangan orang peduli) menyadari bahwa ‘ada sesuatu yang salah di
negeri ini’. Kebobrokan moral merupakan kata kunci yang dihipotesakan.
Seminar
yang terselenggara hari ini, menurut hemat saya juga merupakan reaksi atas keprihatinan
melihat keterpurukan bangsa ini. Berseminar dengan tema “Peran Ilmu-Ilmu
Humaniora dalam Membangun Karakter Bangsa” merupakan bukti nyata untuk
mengambil peran dalam menemukenali permasalahan bangsa
Pendidikan Moral: Pendidikan Berkarakter
Beberapa tahun
terakhir, pendidikan karakter tiba-tiba menjadi hal yang mendesak untuk
dibicarakan. Berbagai kalangan memberi respon yang berbeda. Kalangan
pendidik muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti di
semua jenjang pendidikan, sedangkan agamawan memandang perlunya
penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik
mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila (tapi bukan ala jaman Soeharto).
Kemendiknas (kini Kemendikbud) tidak tinggal diam, ia mencoba merespon berbagai
masukan meski sampai sekarang langkah konkrit belum tampak nyata. Yang ada,
berbagai lembaga pendidikan menyelenggarakan seminar yang membicarakan masalah
keterpurukan bangsa dan bagaimana pentingnya pendidikan karakter dilaksanakan
Pendidikan/pembentukan karakter (character building) dan pembangunan bangsa
(nation building) merupakan dua hal yang dapat dipisahkan. Masalah nation
building itu sudah jelas sebagaimana cita-cita the founding father republik
ini. Yang tersisa adalah masalah character building. Jika character building
hancur, maka itu juga awal kehancuran dan berpengaruh terhadap nation building.
Masalah pembentukan karakter, salah satu sumbunya adalah masalah pendidikan.
Namun demikian, ada
beberapa hal yang ditengarai sebagai simpul masalah yang dihadapi pendidikan
kita dalam pelaksanaannya sebagai sebuah wahana nation and character building.
Masalah yang paling erat kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa adalah
adanya antagonism media massa terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri.
Apa yang kita
konsumsi setiap hari adalah bagaimana hembusan angin konsumerisme dan gaya
hidup hedonis yang ditiupkan media massa; media maya, tv dan media cetak yang
lebih banyak dianut generasi bangsa ini daripada nilai-nilai prestasi dan produktivitas
yang digawangi oleh institusi pendidikan. Ini menunjukkan betapa lemahnya
kedudukan institusi pendidikan dalam membangun karakter bagi rakyat apalagi
bila berbicara dalam tataran kebangsaan.
Selain
itu, hilangnya model-model pribadi pendidik (keteladanan) di kalangan guru, dan
celakanya para pemimpin kita pun turut berkontribusi dalam kegagalan pendidikan
dalam menjalankan fungsinya sebagai wahana pembangunan karakter. Pada akhirnya
rakyat kehilangan role model yang
memadukan unsur-unsur kebaikan dalam kehidupan berbangsa. Hal ini menjadikan
pendidikan terlokalisir di sekolah dan institusi pendidikan, tidak di seluruh
aspek kehidupan, itupun berjalan sedemikian kakunya.
Perkelahian/tawuran
antar kelompok pelajar dan mahasiswa, bentrok mahasiswa yang berujung dengan
pembakaran kampus, berdemo untuk menyatakan pendapat dengan merusak fasilitas
umum, dosen adu jotos di kampus, dan sejumlah peristiwa kontra akademik lainnya
adalah sebuah fotret buram dunia pendidikan yang pahit dan harus kita telan.
Yang lebih ironis karena sumbu masalahnya terkadang hanya persoalan sepele.
Pendidikan Karakter dan Ade Pangampe
Pritchard
(1988: 467) meberi kata kunci tentang pembentukan karakter, yakni pembiasaan To put something into habit. Dalam
kultur Bugis menjebutkan dua yakni pembiasaan dan pencontohan. (mabbiasa nennia topa na mapatiroi) Pembentukan karakter yang ditumpangkan
pada pendidikan formal (peran guru) Haryadi (2011), menjelaskan pendidikan
karakter sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan yang
holistik menggunakan metode knowing the
good, feeling the good, acting the good. Pengetahuan tentang
kebaikan (knowing the good) mudah diberikan karena bersifat kognitif. Setelah
knowing the good perlu ditumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan
(feeling the good). Selanjutnya, feeling the good diharapkan menjadi mesin
penggerak sehingga seseorang secara suka reka melakukan perbuatan yang baik
(acting the good). Penanaman dengan model seperti itu, akan mengantarkan
seseorang kepada kebiasaan berlaku baik.
Pembentukan
karakter setidaknya diadaptasi dari frasa character
building dalam bahasa Inggris atau “ade pangampe” dalam bahasa Bugis. Jika
asumsi ini benar, maka perbedaannya mungkin terletak pada tata cara
pencapaiannya. Character building dapat dicapai melalui rekayasa pendidikan,
sedangkan ade pangampe harus bermula
dari pendidikan dalam rumah tangga. Pendidikan berkarakter bukanlah
perkara mudah. Sesuatu yang sudah tertanam sampai pada usia dewasa, sulit untuk
berubah. Maputepi kao-kaoE napaja.
Demikian ungkapan Bugis mengilustrasikan tentang pentingnya penanaman
pendidikan berkarakter sejak usia dini
Dalam ade pangampe,
peran ibu sebagai guru pertama dan utama memegang peranan penting. Kata
kuncinya, sekali lagi, ada dua, pembiasaan
dan pencontohan. Dan ini harus
tertanam sebelum seorang anak mengenal lingkungan pergaulan yang lebih luas.
Mengapa seorang anak harus dibiasakan menjawab ye (ya dalam respon sopan)
dibanding yo (ya dalam respon tidak sopan), karena yang ingin ditumbuhkan
adalah pembiasaan hingga sampai pada penghayatan. Karakter itu kata kuncinya
adalah pembiasaan. Pepatah melayu: kecil
teranjak-anjak, besar terbawa-bawa, tua berubah tidak. Ingat pula lagu
Bugis Ala Massea Sea Mua.
Adalah ‘pembiasaan’; seperti kata Pritchard, Dalam teori
prilaku juga dikenal dengan istilah pembiasaan. Sesuatu yang sudah dibiasakan
akan melekat dalam tindak spontan. Pepatah melayu “ala
bisa karena biasa” mengisyaratkan bahwa karakter itu harus bertumbuh dari
kebiasaan (baca juga pembiasaan), dengan kata lain ia merupakan sesuatu yang
melewati proses panjang, tidak instan. Tidak semudah membalik telapak tangan. Lele bulu teng lele abbiasang, paseng
Bugis juga mengatakan demikian
Sementara
itu, dalam membangun karakter bangsa, perlu memperhatikan jatidiri masyarakat
Indonesia yang bhineka baik asal usulnya maupun latar belakang sosial budayanya.
Pembinaan sikap dan wawasan kebangsaan
(nasionalisme), pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa perlu menjadi
pertimbangan yang utama. Memasuki era global yang sangat kompetitif, pembinaan
karakter bangsa harus diarahkan pada upaya untuk lebih membina dan meningkatkan
intelektualisme dan profesionalisme. Secara normatif, pendidikan dalam rangka
pembangunan karakter bangsa perlu
mendasarkan pada VĂsi, Misi, dan Fungsi pendidikan sebagaimana tercantum dalam
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada beberapa kata
kunci yang perlu diperhatikan dan signifikan dengan upaya pembangunan karakter
bangsa yaitu meliputi: (1) manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, (2) kecerdasan, (3) kemampuan, (4) watak dan akhlak mulia, (5) sehat,
(6) berilmu, (7) cakap, (8) kreatif, (9) mandiri, (10) manusia Indonesia yang
demokratis, (11) bertanggung jawab, dan (12) menghargai HAM
Sastra Membangun Kesadaran
Terdapat sebuah
kesadaran bahwa kesusastraan memiliki hubungan yang unik dengan pembentukan
nilai dan sikap kebangsaan. Di satu sisi, sejarah sastra (seni secara umum)
menunjukkan bahwa sastra menempati posisi yang cukup penting dan strategis
dalam pembentukan karakteristik kebangsaan, bahkan ikut terlibat langsung dalam
pembentukan negara bangsa. Berbagai perdebatan dalam kesusastraan dan kebudayaan
pada umumnya hampir selalu berbanding lurus dengan perdebatan soal pembangunan
karakter bangsa dan kebangsaan. Singkat kata, sastra dapat dikategorikan
sebagai salah satu pilar kebangsaan. Mungkin ini dianggap berlebihan, tetapi
jika kita menengok sejarah Romawi Kuno, Inggrsi, Peradaban Mesir Tua, Melayu
Nusantara dan China, maka peran sastra dipandang sebagai penyandi pendidikan
berkarakter dalam arti luas.
Lalu kemudian, seringkali
diperdebatkan tentang hubungan pendidikan karakter dan membangun karakter
bangsa. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
Pritchard (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung
positif.
Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait,
distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an
individual or group’ (Christopher
Paterson and Seligman, 2004) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak
ditemukan kata karakter. Kata karakter,
yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang
mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; dan tabiat.
Dalam makalah ini, penulis merujuk pada pengertian pertama, yaitu karakter
amat berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral.
Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang punya kualitas moral (tertentu)
yang positif. Ikonnya ada tiga; berprinsip, bernurani dan berjatidiri. Dengan
demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti
membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi
moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam ’Character Strength and Virtue’,
mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan (virtues).
Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang
membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’
adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya
potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang
bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup
pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah,
mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam
kehidupan sehari-hari. Tidak berdimensi waktu dan tempat. Kebiasaan ini tumbuh
dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap
orang yang bersangkutan. Bukan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan demikian,
karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang
menjadi kebiasaan baik itu terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan
karena adanya paksaan dari luar. Yang bersentuhan dengan luar adalah kepanutan
dari seseorang atau kelompok orang. Pengaruh buruk dari faktor eksternal,
justru dapat direproduksi jauh lebih buruk. Kata pepatah Melayu, Guru kencing berdiri Murid kencing berlari.
Menurut
Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat)
dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu (1)
afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah
berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman-temannya
dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk
berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5)
adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru.
Sejalan pandangan sebelumnya, Hayadi
(2011) melihat karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam
pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul
madmumah (akhlak tercela). Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat
terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5)
memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras,
(9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13)
ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka
menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada
Allah, (21) berkorban untuk orang lain, dan (22) panyayang. Sementara
itu, lawan dari sifat-sifat terpuji itu termasuk akhlakul madmumah, seperti
boros, sombong, malas dan sebagainya.
Letak masalahnya
bukan seperti sederetan kebajikan seperti disebutkan di atas. Tetapi nilai
dominan yang ada dalam diri seseorang sehingga seseorang mampu berkontribusi
terhadap kehidupan majemuk. Faktanya, banyak penghuni ‘kamar berjeruji besi’
juga memiliki sifat-sifat kebajikan dalam kehidupan sehari-harinya. Ia suka
memberi, peduli lingkungan sesama, toleran dan seterusnya. Ini yang banyak
mencengangkan dalam fakta keseharian yang kita konsumsi dan saksikan setiap saat.
Di negara ini yang
hancur adalah keteladanan. Anggota DPR beradu jotos di parlemen, Aparat
bersenjata represif dengan rakyat, Guru Agama memperkosa murid, Pemimpin yang dihormati
mencuri uang negara, Putusan Pengadilan direkayasa, Dana bencana alam disunat, Uang
pajak disalahgunakan, dan sejumlah non
contoh lainnya. Semua itu berperanguh negatif terhadap karakter bangsa
karena media informasi juga turut meng amplifier secara besar-besaran dan
berulang-ulang.
Sastra Anak dan Pengajaran
Sastra di Sekolah
Dalam konteks
pengajaran sastra sebagai bagian dari media penumbuhan pembentukan karakter di
lembaga pendidikan formal, paling tidak terdapat 3 (tiga) pertanyaan besar yang
harus kita jawab. Ketiga pertanyaan tersebut sebagai berikut:
1.
Pengajaran Sastra dalam kaitannya dengan upaya
menumbuhkan nilai dan sikap Kebangsaan. Bagaimana skenarionya?
Apakah sistem pengajaran sastra pada
lembaga pendidikan formal telah memiliki muatan untuk menumbuhkan nilai dan
sikap kebangsaan? Salah satu masalah besar yang kita hadapi sekarang ini karena
pengajaran sastra di sekolah (khususnya SD dan SMP) tidak memperoleh porsi yang
wajar. Pengajaran sastra hanya menumpang pada pengajaran bahasa. Sementara
pengajaran bahasa juga disikut oleh pelajaran lain yang dianggap lebih
mendesak.
Adakah tersedia buku
ajar yang mampu membantu mendukung proses belajar-mengajar sastra yang
menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan? Apakah institusi pendidikan telah
mencetak guru sastra yang mampu memotivasi anak didiknya untuk memiliki
kesadaran berkebangsaan dalam berperilaku sehari-hari melalui pengajaran
sastra? Ini masalahnya
Pengajaran materi
sastra seharusnya tidak diajarkan sebagai materi bacaan semata (statis) melainkan
anak didik perlu dibiasakan untuk mengapresiasi sastra. Sastra harus dipandang
sebagai sesuatu yang hidup, karena di dalamnya mengandung potret kehidupan
2.
Eksistensi lahirnya berbagai karya sastra di tengah
gencarnya peran dan pengaruh media lain di tengah masyarakat Sejauh manakah
karya sastra (khususnya karya populer) mampu mendukung munculnya kesadaran
nasional terhadap pembacanya? Kesadaran nasional seperti apakah yang diusung
oleh karya sastra terjemahan? Apakah sastra pop mampu menjadi penetrasi morat
maritnya kehidupan di luar sastra atau justru ia ikut larut dalam mengukuhkan
kemoratmaritan itu? Bagaimanakah nasionalisme dihadirkan dalam karya sastra anak
dan remaja misalnya? Bagaimanakah peran media massa - sebagai salah satu wadah
produksi sastra - dalam mendukung pembentukan kesadaran nasional?
Seorang guru sastra yang baik, harus
mampu meyakinkan anak didiknya bahwa karya sastra memotret kehidupan yang berisikan
contoh dan non contoh. Aspek contoh, adalah hal-hal yang dapat diteladani
dalam kehidupan, sedangkan aspek non
contoh merupakan hal yang harus dihindari.
Ini penting ditanamkan lebih awal karena bukan tidak mungkin melalui
bacaan sastra terdapat hal-hal (perbuatan tidak terpuji), yang perlu diketahui
untuk tidak dilakukan. Ini yang saya sebut sebut sebagai aspek non contoh.
3.
Bagaimana peran sastra (secara signifikan) dalam
pembentukan karakter bangsa?
Sastra dapat dilihat dari berbagai
aspek. Dari aspek isi, jelas bahwa karya sastra sebagai karya imajinatif tidak
lepas dari realitas. Plato, sebagaimana dikutip oleh Damono (1979: 18)
mengatakan bahwa kenyataan sosial yang tergambar dalam suatu karya sastra
merupakan tiruan atau imitasi dari apa yang terjadi di masyarakatnya. Karya
sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang terjadi pada suatu waktu, baik
positif maupun negatif (baca contoh dan non contoh) direspon oleh pengarang.
Dalam proses penciptaannya, pengarang akan melihat fenomena-fenomena yang
terjadi di masyarakat itu secara kritis, kemudian mereka
mengungkapkannya dalam bentuk karya imajinatif.
Catatan Penutup
Jika
karya sastra diyakini memiliki fungsi dulce et utile (nikmat dan
bermanfaat), maka sudah sepantasnya karya sastra dapat dikukuhkan sebagai salah
satu pilar untuk membangun karakter bangsa. Pada gilirannya fungsi dulce et
ulite terejawantah dalam muatan sastra. Dan inilah yang harus dipenuhi
sebagai karya yang mempunyai nilai tinggi (bermuatan tatanan sosial dan relevansinya
dalam kehidupan masyarakat), yakni muatan estetis, etis dan logis. Inilah aspek
yang merupakan trilogi keilmuan yang indah, baik dan benar, sehingga sejarah
peradaban tua dari berbagai bangsa menjadikan sastra sebagai salah satu pilar
pembentukan karakter bangsanya.
Kemanfaatan sastra
diketahui karena ia mengandung pesan moral dan amanat kebajikan. Pesan moral
dan amanat kebajikan amat bersesuaian dengan pendidikan
karakter. Pendidikan karakter tidak dapat diartikan sempit. Banyak karya sastra
lama dan modern yang mengandung pendidikan karakter, di dalamnya berisikan
tentang nilai-nilai dan prinsip kehidupan; kemanusiaan, harga diri, kritis,
toleran, kerja keras, peduli sesama, hemat, dan bahkan rela berkorban untuk
kepentingan yang lebih besar.
Dengan
mempromosikan karya sastra sebagai salah satu aspek penting dalam membangun
karakter bangsa, itu berarti bahwa bacaan karya sastra telah diberi ruang untuk
membangun jiwa bangsa. Apa kata W.R. Soepratman dalam lagu Indonesia Raya,
/…bangunlah jiwanya, bangunlah badannya / / untuk Indonesia Raya./ adalah
sebuah gambaran yang jelas bahwa pembangunan mental atau karakter bangsa tidak
dapat diabaikan untuk mencapai kejayaan Indonesia. Harus disadari bahwa
kepedulian membangun karakter bangsa berarti kita tengah merawat keindonesiaan
kita.
Saya
ingin menakhiri tulisan ini dengan mengutip secuil dari The Nightmare of Losing’ karya A.D. Pirous / You lose your
wealth, you lose nothing//You lose your health, you lose something//You lose
your character, you lose everything/. Akhirnya selamat Ultah ke 51
Fakultas Ilmu Budaya Unhas
Bacaan Sumber
Abrams, M.H. 1981. The Mirror and The Lamp. London:
Oxford University Press., London.
Christopher Paterson and Martin E.P.
Seligman, Character
Strengths and Virtues : A Handbook and Classification, Oxford University Press, 2004
Damono, Sapardi
Djoko, 1979, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengetahuan Ringkas, Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Eco,
Umberto. 1992. “Interpretation and Overinterpretation”.
Stefan Collini (Ed.). New York Port Chester Cambridge University Press.
Endraswara,
Suwardi. 2008. “Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologi,
Model, Teori, dan Aplikasi”. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri
Yogyakarta.
Goldmann,
Lucien. 1975. The Genetic Structuralist Methods in the History of Literature –
Towards a Sociology of the Novel. Trans Alan Sheridan. London: Tavistock.
Hardjana,
Andre. 1983. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Hartoko,
Dick & Rahmanto B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hayadi,
2011. Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa. Dimuat dalam republik
sastra
(http://publiksastra.net/2011/09/peran-sastra-dalam-pembentukan-karakter-bangsa/#ixzz1fILMuNaz)
Hudson,
William Henry. 1960. An Introduction to the Study of Literature. Sydney: George
G. Harrap & Co. Ltd
Kramsch,
Claire. 1998. Language and Culture. Toronto (series editor by H.G. Widdowson):
Oxford University Press.
Lamont,
W.D. 1946. The Principles Of Moral Judgement. Oxford. The Clarendon Press.
Levin,
Harry. 1973. "Literature as an Institution" in
“Sociology of Literature and Drama”. (Burns & Burns, Eds.). Harmondsworth:
Penguin Books Ltd.
Lesser,
Simon O. 1962. “Fiction and the Unconscious”. New York:
State University Press.
Little,
Graham. 1978. Approach to Literature. (fourth edition) Australia: Southwood
Press
Luxemburg,
Jan Van & Mieke Bal Willem G.W. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Bahasa
Indonesia oleh Dick Hartoko) Jamakarta: Gramedia.
Mangunwijaya,
Y.B. 1988. “Sastra dan Religiositas”. Yogyakarta: Kanisius.
Maslow,
Abraham, 1970. Motivation and Personality. Second Edition. New York: Harper and
Row, Inc.
Pritchard,
I. 1988. ”Character \education: Research Prospect and Problem” American
Journal of Education. 96 (4) 1988.
Rahman,
Fathu, 1985. The Moral Aspect in Some T.S. Eliot’s Poems. (unpublished)
Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
------------------- 2010. Sastra Anak dalam Persimpangan.
(published in Lensa Budaya (Volume 5 Nomor 1, April 2010). Makassar: Jurnal
Ilmu-Ilmu Budaya.
Suyanto.
2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http:// www.
mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Tilak,
Raghukul.1985. Background to English Literature (A Study in Literary Forms).
New Delhi: Rama Brothers
Wellek,
Rene & Warren, Austin.1956. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace
& World, Inc
Zuchdi,
Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik.
Yogyakarta: UNY Press.
Zuhlan,
Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media
Utama
*)Makalah ini telah dipresentasikan pada Seminar Internasional "Peran Ilmu-Ilmu Humaniora Dalam Membangun Karakter Bangsa" Pada FIB Unhas, 26 Januari 2012 [klik disidi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar