Semua naskah di blog ini telah diproteksi dari tindak salin-langsung (copy-paste)

Selasa, 18 September 2012

Kesusastraan Indonesia dan Malaysia: Adakah Fotret Budaya Melayu?


Fathu Rahman
 Abstrak
Dalam studi etno-literature, Kesuastraan Indonesia dan Kesusastraan Malaysia disebut sebagai kesusastraan Melayu. Alasannya, karena kedua kesusastraan dari dua bangsa ini dipandang bertumbuh dari satu rumpun budaya yang sama yaitu Melayu. Tentu saja pandangan ini akan memicu berbagai pandangan yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula.
Selain masalah bahasa, banyak aspek budaya yang menarik dibicarakan dari kedua bangsa serumpun ini, termasuk diantaranya adalah masalah kesusastraannya. Dengan kata lain kesusastraan Indonesia dan Malaysia akan ditilik dari sudut pandang fotret sejarah dan budaya Melayu. Masalah kesusastraan dapat menjadi issue dan tantangan dalam kajian Malaysia – Indonesia.
Makalah ini akan membahas tentang  eksistensi kesusastraan Indonesia dan Malaysia dalam fotret budaya Melayu. Apa fenomenanya? Adakah karya sastra kedua kesusastraan dari negara serumpun ini menjalin tali temali kemelayuan atau justru ia masing-masing memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri?  
Pada kenyataannya, kini kesusastraan Indonesia dan Malaysia bagaikan sebuah pohon yang memiliki dua cabang yang berbeda. Tentu dengan akar sejarah dan budaya yang sama yaitu Melayu.
Kata kunci: kesusastraan, budaya Melayu,  issue dan tantangan dalam kajian Malaysia – Indonesia.

Sastra Melayu
Sastra Melayu Klasik, berdasarkan penelitian terkini, bermula pada abad XVI Masehi. Dalam beberapa sumber, dokumen pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu klasik adalah sepucuk surat dari raja Ternate (kini Indonesia), yakni Sultan Abu Hayat kepada raja João III di Portugal dan tercatat pada tahun 1512 Masehi. Sejak saat itu sampai sekarang pola dan gaya bahasanya tidak banyak yang berubah.
Sastra Melayu klasik sering pula disebut sebagai sastra Melayu Nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya kata nusantara berubah pengertian yang lebih sempit. Ciri sastra Melayu klasik terletak pada pola dan stilistika yang khas pula. Kini sastra Melayu semakin menggoda sebagai salah satu objek kajian akademik.
Warisan sastra Melayu klasik antara lain Gurindam (Gurindam Lama dan Gurindam dua belas), Hikayat, Karmina, Pantun, Syair, Talibun dan lain-lain. Hanya Pantun dan Syair yang mengalami perkembangan secara dinamis, sedangkan yang lainnya bertahan secara statis. Syair lebih banyak didapati dan berlembanng di Malaysia, sedangkan Pantun, baik di Malaysia maupun di Indonesia sama-sama bertahan dalam tradisi sastra masing-masing.
Meski syair tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan di Indonesia, tetapi perkembangan sastra pantun mengalami kemajuan dari waktu ke waktu. Berbagai pegelaran sastra yang menghadirkan pantun, kini semakin menggembirakan. Di beberapa universitas dan sanggar budaya kini bermunculan komunitas pantun.
Dalam tradisi masyarakat, pantun masih dimanfaatkan sebagai salah satu sarana pendidikan dan hiburan. Di Indonesia, kini sedang diminati pantun diselipkan pada bagian awal dan akhir pidato pejabat. Tentu hal ini amat menggembirakan baik sebagai sarana pelestarian pantun, maupun sebagai salah satu pemertahanan identitas kemelayuan.  
Tonggak Sejarah Sastra Melayu Bagi Indonesia
Seperti disebutkan sebelumnya, sastra Melayu klasik dimulai sejak abad 16 atau tepatnya pada tahun 1521. Apa yang kita kenal sebagai sastra Melayu klasik meliputi wilayah nusantara. Hal ini mengikuti prinsip geografis wilayah nusantara. Namun keadaan ini tidak bertahan lama, karena lahirnya perjanjian Inggris pada tahun 1824 yang memisahkan wilayah nusantara menjadi dua bagian besar yaitu, wilayah yang dikuasai oleh Inggris dan wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Malaysia menjadi wilayah yang dikuasai oleh Inggris dan Indonesia masuk ke wilayah yang dikuasai oleh Belanda.
Pemisahan wilayah nusantara masih menyisakan ruang kebersamaan di bawah semangat Melayu karena pemisahan ini hanya bersifat politik dan kekuasaan kolonial semata. Tradisi budaya nusantara masih sangat kental sebagai bangsa yang dijajah secara berbeda. Keduanya diikat oleh satu bahasa yaitu bahasa Melayu, dan kesusastraan yang ada disebutnya sebagai kesusastraan Melayu.
Peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928 perlu dicatat sebagai salah satu bagian penting dalam sejarah politik di Indonesia. Para pemuda Indonesia berikrar menjunjung tinggi bahasa yang satu bahasa Indonesia. Tentu hal ini merupakan pernyataan politik, tetapi membawa implikasi yang besar terhadap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengimpikan dalam kemerdekaan kemudian, memiliki bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Indonesia
Tonggak berikut adalah proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945. Konstitusi negara menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan dalam aplikasinya bahasa Indonesia menjadi semangat pemersatu bangsa. Semangat pemersatu bangsa dimaksudkan di sini karena bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa daerah, budaya dan adat istiadat. “Bhinneka Tunggal Ika”; berbeda-beda tetapi tetap satu. Perkara inilah yang mengawali perbedaan arah kesusastraan Indonesia dengan kesusastraan Malaysia. Sastra Indonesia semakin meninggalkan roh melayunya sementara Malaysia tetap mempertahankan kemelayuan itu. Keadaan ini bukan hanya pada bahasa dan adat istiadat melainkan jauh dari itu, termasuk di dalamnya adalah pada kesusastraan.
Di awal tahun 70an muncul satu semangat bersama untuk membangun kembali khasanah Melayu dalam Bahasa dan Kesusastraan, tetapi pekerjaan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, semua telah berjalan pada jalannya masing-masing. Dalam penyatuan dan penyelarasan bahasa, telah dibentuk satu badan yang bernama MABBIM (Majelis Bahasa Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia) tetapi ternyata hasilnya belum terlihat seperti yang diharapkan.
Tahun 90an, berbagai perguruan tinggi kerap melakukan kegiatan ilmiah kesusastraan, termasuk kegiatan berkala Pertemuan Sastrawan Nusantara. Berbagai kalangan menilai bahwa pada tahun 90an ini telah muncul semangat bersama untuk merumuskan identitas kemelayuan dalam perspektif sastra dan budaya. 
Identitas Melayu dalam Sastra Serumpun
Sastra, menurut Damono (1979) adalah refleksi dari masyarakatnya. Oleh karena itu, identitas suatu bangsa, antara lain dapat dilihat pada karya sastranya. Dalam hal yang sama ketika suatu bangsa membutuhkan penguatan identitas, maka karya sastra berpeluang untuk memberi refleksi.
Dengan argumen itu maka ketika suatu bangsa terancam kehilangan identitasnya akibat serbuan budaya-budaya global, revitalisasi nilai-nilai budaya melalui karya sastra menjadi sangat penting dan berguna. Tetapi harus diingat bahwa nilai-nilai budaya dalam karya sastra bersifat dinamis dan menebar, maka diperlukan forum untuk mengkaji dan merangkum nilai-nilai itu, kemudian merumuskannya menjadi identitas bersama yang lebih pas. Dan, itulah yang sesungguhnya yang saat ini diperlukan oleh bangsa Melayu yang kini tersebar di negara-negara serumpun, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand dan Filipina.
Kegelisahan tentang  telah berkali-kali dibicarakan dalam forum sastra besar bernama Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN). Ini adalah forum dua tahunan yang baik untuk membicarakan identitas kemelayuan dalam kesusastraan serumpun. Apalagi dalam forum itu senantasa dihadiri oleh para sastrawan dari negara serumpun seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand dan Filipina. Salah satu ciri dari setiap pertemuan ini, pantun Melayu senantiasa menjadi ajang yang menghangatkan suasa.
Sebut saja pertemuan pada tahun 2004, fotret budaya Melayu dalam kesusastraan serumpun menjadi topik yang hangat, namun dalam perspek yang berbeda. Paling tidak, telah terjadi peneguhan identitas budaya Melayu dalam karya sastra. .
Dalam kesusastraan Indonesia dan Malaysia, jika ditilik dari aspek kemelayuan memiliki ancaman yang berbeda. Meski harus pula disadari bahwa identitas Melayu, tentu, tidak harus homogen, karena wilayah negara-negara Melayu serumpun didiami oleh berbagai etnis dan agama, yang masing-masing memiliki bentuk ekspresi budaya yang berbeda. Di Indonesia misalnya, negeri yang kaya akan budaya lokal yang terpelihara oleh masyarakatnya. Pemaksaan identitas yang homogen hanya akan mengakibatkan semacam 'tragedi kultural' seperti pemaksaan identitas budaya nasional yang pernah terjadi di Indonesia pada masa orde baru. Cara ini tentu akan  mematikan banyak ekspresi budaya dan tradisi etnis. Dan lebih konyol jika pemaksaan identitas yang homogen itu terjadi pada budaya ataupun sastra negara-negara serumpun yang lebih membutuhkan identitas yang relatif berbeda sesuai dengan realitas masyarakat masing-masing negara. Identitas Melayu mestilah bersifat dinamis dan heterogen. Disinilah pentingnya identitas Melayu ditafsirkan lebih luas. 
Di Malaysia, lain lagi masalahnya. Seperti diungkap oleh Kamal Abdullah (budayawan Malaysia), identitas bahasa itupun kini terancam oleh makin menguatnya tradisi sastra Inggris Malaysia. Pengaruh budaya Inggris dan lainnya memang amat kental di Malaysia. Mengetengahkan kembali unsur budaya Melayu dalam khasanan kesusastraan adalah menjadi pekerjaan rumah kita masing-masing.

Berbeda dalam Persamaan
Hubungan Indonesia-Malaysia dalam sejarahnya kerap diwarnai dengan ketegangan yang boleh jadi terwakili oleh kata: merajuk. Perasaan kesamaan sejarah, sentimen keserumpunan, dan migrasi warga Indonesia (sejak jaman kolonial) yang telah berlangsung begitu lama telah menjadikan kedua bangsa dalam ikatan sosio-kultural. Batas teritorial negara dan persoalan politik, ternyata tidak serta-merta memagari hubungan sosio-kultural penduduk kedua bangsa yang sudah berlangsung sejak lama dan telah mengakar dalam semangat keserumpunan dunia Melayu. Kesamaan perasaan sebagai warga puak Malaysia itulah mukjizat dunia Melayu yang tak mudah dihapuskan begitu saja oleh keputusan politik. (baca Mahayana, 2001)
Keserumpunan ini dapat menjadi alasan penting untuk saling menghormati satu sama lain. Namun demikian dapat pula menjadi bibit masalah hingga ancaman serius dalam soal tertentu. Misalnya masalah sosial budaya dan politik. Padahal Indonesia dan Malaysia adalah negara “kakak-beradik” istilah Mahathir Mohamad
Salah satu faktor yang sering menimbulkan ketegangan adalah masalah perbatasan wilayah hingga klaim mengklaim soal soal hak cipta kebudayaan. Sebut saja klaim Malaysia atas Tortor dan Gondang Sambilan baru-baru ini. Tortor adalah kesenian tari masyarakat Batak, sedang Gondang Sambilan adalah bentuk tetabuhan sebagai musik pengiringnya. Selama ini sudah begitu adanya, bahwa kesenian Batak sebagai karya-cipta manusia pastinya lahir dari tanah Batak, di Sumatra Utara Indonesia. Lalu apa urusannya Negeri Jiran (Malaysia) ini dengan seni budaya Batak? (Hadi, 2012)
Adalah keterangan Datuk Seri Dr. Rais Yatim, menteri informasi, komunikasi, dan kebudayaan Malaysia, seperti dilansir media Bernama (14/6) yang menyebutkan agenda pemerintah Malaysia untuk menjadikan Tortor dan Gordang Sambilan sebagai national heritage (warisan nasional) untuk mengapresiasi komunitas-masyarakat Batak Mandailing yang menetap di Malaysia. Apa yang hendak dilakukan oleh Malaysia merupakan sesuatu yang keliru dengan alasan apapun.
Reaksi geram bangsa kita atas arogansi Malaysia ini tidak hanya satu-dua kali, tetapi berulang terjadi. Masih segar dalam ingatan kita klaim-klaim serupa atas Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange dari Maluku, dan Tari Pendet Bali. Belum lagi persoalan TKI. Juga catatan buruk lainnya sebagai bentuk hubungan dua negara tetangga sekaligus serumpun yang kurang rukun. (Hadi, 2012)
Di sinilah pemahaman sejarah menjadi penting. Sejarah adalah tempat bercermin dan merefleksi masa lalu. Dengan sejarah kita belajar menemukan kearifan untuk melangkah ke masa depan. Maka, mereka yang memahami sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, niscaya tidak akan menyimpan kerisauan berkepanjangan ketika terjadi gejolak dan konflik yang seolah-olah mengganggu hubungan kedua negara. Bagi mereka yang memahami hubungan kesejarahan kedua negara ini menganggap konflik ini sebagai sebuah krikil yang tidak bertahan lama.
Dalam bidang kebudayaan dan perjuangan kebangsaan perlu saling terjaga. Di sinilah diperlukan kearifan sebagai bangsa serumpun untuk memanfaatkan akar budaya sebagai perekat dua bangsa serumpun. Selain berkaca pada sejarah, kita pun dapat berkakaca pada aspek budaya termasuk diantaranya adalah kesusastraan. Kedua bangsa serumpun ini ada baiknya memposisikan kesusastraan Indonesia-Malaysia dalam wilayah yang lebih luas: hubungan sosio-budaya Indonesia-Malaysia di tengah politik yang menciptakan konflik. Bagaimanapun, pengetahuan masa lalu tentang persamaan sosio-kultural kemelayuan-kenusantaraan itulah yang melahirkan – mengalirkan - menumbuhkan semangat persaudaraan yang tak pernah lekang. Dan harus disadari bahwa itulah tali pengikat yang menjiwai kedua bangsa yang bersaudara ini.
Sastra Melayu; konflik ideologi
Sastra Melayu yang dimakud dalam tulisan ini adalah kesusastraan Indonesia dan Malaysia. Adalah Maman S. Mahayana (2001) turut mempertanyakan mengapa kesusastraan Indonesia dan Malaysia akarnya sama: bahasa dan tradisi sastra Melayu. Sama-sama bermoyangkan Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Namun, pohonnya berbeda, dan karena itu cabang, ranting, dan buah kreativitas kesusastraan Indonesia dan Malaysia tidaklah sama.
Menjadi berbedanya sastra Indonesia dengan sastra Malaysia, menurut Maman, terpaut pada kolonialisme. Dalam hal ini, Maman antara lain merujuk pada konsekuensi negosiasi antara Imperium Inggris dan Belanda di London pada 1824. Ranah budaya yang setradisi dipilah dua. Pertama, Malaka serta Singapura menjadi urusan Inggris. Kedua, Sumatra dan selebihnya jadi kewajiban Belanda. Kolonisasi, antara lain, memperkenalkan teknologi percetakan. Dan itulah “embrio bagi kesusastraan di kedua wilayah” (Mahayana, 2001: 3).
            Dalam teori etno-literature, dua bangsa berbeda pasti memiliki aspek budaya yang berbeda, namun demikian dua negara yang berbeda dengan nenek moyang yang sama pasti pula memiliki tali temali budaya yang tak terpisahkan. Itulah Indonesia dan Malaysia, tali temalinya adalah keserumpunan Melalyu. Kedua negara ini memiliki tanggungjawab yang sama untuk melestarikan budaya Melayu, termasuk melalui media kesusastraan.
Catatan penutup
            Pada akhirnya kita mimpikan potret budaya Melayu dapat ditemukan dalam khasanah kesusastraan Indonesia dan Malaysia. Harapan ini kita tumpangkan pada dunia kesusastraan. Perbedaan Indonesia Malaysia jangan dipertajam. Urusan kesusastraan jangan pula dikaitkan dengan masalah politik. Pelestarian budaya Melayu, melalui kesusastraan merupakan media yang strategis.
Dan jika dicermati lebih jauh, meski sama-sama berakar Melayu, sastra Indonesia dan sastra Malaysia berkembang secara terpisah. Itu tidak soal. Hal ini terlihat pada sistem sastra dan orientasi budaya dari masing-masing negara. Sebagai bangsa serumpun, adalah tepat jika kesusastraan Indonesia dan Malaysia (sebut saja kebudayaan) biarlah berbeda dalam persamaan dan bersama dalam perbedaan. Tentu di bawah semangat Melayu.
Sebagai catatan penutup, saya ingin mengakhiri makalah ini dengan sebuah pantun /Merak melayang diangkasa sana//Jangan merayu kata pujangga//Nenek moyang jua sama//Semangat Melayu harus terjaga
(Makalah ini telah disajikan pada International Conference; "Issues and Challenges in Malay-Indonesian Studies", Hankuk University of Foreign Studies, Korea, 2012).  

Bacaan Sumber
Abrams, M.H. 1981. The Mirror and The Lamp. London: Oxford University Press., London.
Clement, Robert J. 1978. Comparative Literature as Academic Discipline. New York: The Modern Language Association of America.
Damono, Sapardi Djoko, 1979, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengetahuan Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitan Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Dipodjojo, Asdi S. 1986. Kesusasteraan Indonesia Lama pada Zaman Pengaruh Islam. Yogyakarta : Percetakan Lukman
Eco, Umberto. 1992. “Interpretation and Overinterpretation”. Stefan Collini (Ed.). New York Port Chester Cambridge University Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. “Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi”. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2011. Sastra Bandingan – Pendekatan dan Teori Pengkajian. Yogyakarta: Lumbung Ilmu
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goldmann, Lucien. 1975. The Genetic Structuralist Methods in the History of Literature – Towards a Sociology of the Novel. Trans Alan Sheridan. London: Tavistock.
Hadi, Sumarso. 2012. Simbiosis Parasitisme Malaysia - Indonesia (http://www.radarlampung.co.id/read/opini/50500-simbiosis-parasitisme-malaysia-indonesia)
Hardjana, Andre. 1983. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Hartoko, Dick & Rahmanto B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Toronto (series editor by H.G. Widdowson): Oxford University Press.
Levin, Harry. 1973. "Literature as an Institution" in “Sociology of Literature and Drama”. (Burns & Burns, Eds.). Harmondsworth: Penguin Books Ltd.
Luxemburg, Jan Van & Mieke Bal Willem G.W. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko) Jamakarta: Gramedia.
Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, Magelang; Indonesia Tera
Mangunwijaya, Y.B. 1988. “Sastra dan Religiositas”. Yogyakarta: Kanisius.
Rachman, Arif, dkk., 2007, Politik Sastra Banding; Potret Abad 20 dan 21, Aditya Media, Yogyakarta.
Rahman, Fathu, 2011. Transformasi Karya: Dari Puisi ke Cerpen hingga ke Muzikal Drama (Studi Kasus Uda dan Dara karya Usman Awang). Malaysia: Universiti Malaya.
Remak, Henry H. 1971 Comparative Literature, (Newton P. Stalltnech and Horst Prenz Ed.), Contemporarry Literature: Methode & Perspective.Illinois: Carbondale & Edwardsville
Sukada, Made. 1987. Beberapa Aspek tentang Sastra. Denpasar: Penerbit Kayumas & Yayasan Ilmu dan Seni Lesiba.
Tilak, Raghukul.1985. Background to English Literature (A Study in Literary Forms). New Delhi: Rama Brothers
Trisman, B., Sulistiati, Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.








Jumat, 27 Januari 2012

Menggeledah Peran Sastra

dalam Pembentukan Karakter Bangsa

Fathu Rahman

Sekedar Pembuka
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan santun. Wah!, siapa bilang? Bangsa ini bangsa bringas, itu kata siapa? Bangsa ini bangsa yang beradab, apa betul? Bangsa ini berbudaya, apa? Bangsa ini …??, dan sejumlah lagi julukannya. Memang banyak predikasi bangsa ini yang perlu dibaca ulang. Pernyataan-pernyataan itu tidak ada yang salah. Yang pasti bangsa ini sedang meradang. Bangsa ini penuh dengan bahasa iklan,
 Ketika semua orang menyadari bahwa bangsa Indonesia tengah dilanda ‘keterpurukan, sejumlah kalangan; dunia pendidikan, tokoh agama, dan pemimpin umat, budayaan dan kalangan pemerhati bangsa secara sendiri-sendiri atau bersama mencari akar masalahnya. Korupsi merajalela, dari semua lapisan. Ada departemen yang diharap dapat memberi pencerahan, justru diduga sebagai departemen terkorup di Indonesia. Sangat mencengangkan. Dan mereka (kalangan orang peduli) menyadari bahwa ‘ada sesuatu yang salah di negeri ini’. Kebobrokan moral merupakan kata kunci yang dihipotesakan.
            Seminar yang terselenggara hari ini, menurut hemat saya juga merupakan reaksi atas keprihatinan melihat keterpurukan bangsa ini. Berseminar dengan tema “Peran Ilmu-Ilmu Humaniora dalam Membangun Karakter Bangsa” merupakan bukti nyata untuk mengambil peran dalam menemukenali permasalahan bangsa

Pendidikan Moral: Pendidikan Berkarakter
Beberapa tahun terakhir, pendidikan karakter tiba-tiba menjadi hal yang mendesak untuk dibicarakan. Berbagai kalangan memberi respon yang berbeda. Kalangan pendidik  muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti di semua jenjang pendidikan, sedangkan  agamawan memandang perlunya  penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila (tapi bukan ala jaman Soeharto).  Kemendiknas (kini Kemendikbud) tidak tinggal diam, ia mencoba merespon berbagai masukan meski sampai sekarang langkah konkrit belum tampak nyata. Yang ada, berbagai lembaga pendidikan menyelenggarakan seminar yang membicarakan masalah keterpurukan bangsa dan bagaimana pentingnya pendidikan karakter dilaksanakan Pendidikan/pembentukan karakter (character building) dan pembangunan bangsa (nation building) merupakan dua hal yang dapat dipisahkan. Masalah nation building itu sudah jelas sebagaimana cita-cita the founding father republik ini. Yang tersisa adalah masalah character building. Jika character building hancur, maka itu juga awal kehancuran dan berpengaruh terhadap nation building. Masalah pembentukan karakter, salah satu sumbunya adalah masalah pendidikan.
Namun demikian, ada beberapa hal yang ditengarai sebagai simpul masalah yang dihadapi pendidikan kita dalam pelaksanaannya sebagai sebuah wahana nation and character building. Masalah yang paling erat kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa adalah adanya antagonism media massa terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri.
Apa yang kita konsumsi setiap hari adalah bagaimana hembusan angin konsumerisme dan gaya hidup hedonis yang ditiupkan media massa; media maya, tv dan media cetak yang lebih banyak dianut generasi bangsa ini daripada nilai-nilai prestasi dan produktivitas yang digawangi oleh institusi pendidikan. Ini menunjukkan betapa lemahnya kedudukan institusi pendidikan dalam membangun karakter bagi rakyat apalagi bila berbicara dalam tataran kebangsaan.
Selain itu, hilangnya model-model pribadi pendidik (keteladanan) di kalangan guru, dan celakanya para pemimpin kita pun turut berkontribusi dalam kegagalan pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai wahana pembangunan karakter. Pada akhirnya rakyat kehilangan role model yang memadukan unsur-unsur kebaikan dalam kehidupan berbangsa. Hal ini menjadikan pendidikan terlokalisir di sekolah dan institusi pendidikan, tidak di seluruh aspek kehidupan, itupun berjalan sedemikian kakunya.
Perkelahian/tawuran antar kelompok pelajar dan mahasiswa, bentrok mahasiswa yang berujung dengan pembakaran kampus, berdemo untuk menyatakan pendapat dengan merusak fasilitas umum, dosen adu jotos di kampus, dan sejumlah peristiwa kontra akademik lainnya adalah sebuah fotret buram dunia pendidikan yang pahit dan harus kita telan. Yang lebih ironis karena sumbu masalahnya terkadang hanya persoalan sepele.

Pendidikan Karakter dan Ade Pangampe

Pritchard  (1988: 467) meberi kata kunci tentang pembentukan karakter, yakni pembiasaan To put something into habit. Dalam kultur Bugis menjebutkan dua yakni pembiasaan dan pencontohan. (mabbiasa nennia topa na mapatiroi) Pembentukan karakter yang ditumpangkan pada pendidikan formal (peran guru) Haryadi (2011), menjelaskan pendidikan karakter sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan yang holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, acting the good. Pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good) mudah diberikan karena bersifat kognitif. Setelah knowing the good perlu ditumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good). Selanjutnya, feeling the good diharapkan menjadi mesin penggerak sehingga seseorang secara suka reka melakukan perbuatan yang baik (acting the good). Penanaman dengan model seperti itu, akan mengantarkan seseorang kepada kebiasaan berlaku baik.
            Pembentukan karakter setidaknya diadaptasi dari frasa character building dalam bahasa Inggris atau “ade pangampe” dalam bahasa Bugis. Jika asumsi ini benar, maka perbedaannya mungkin terletak pada tata cara pencapaiannya. Character building dapat dicapai melalui rekayasa pendidikan, sedangkan ade pangampe harus bermula dari pendidikan dalam rumah tangga. Pendidikan berkarakter bukanlah perkara mudah. Sesuatu yang sudah tertanam sampai pada usia dewasa, sulit untuk berubah. Maputepi kao-kaoE napaja. Demikian ungkapan Bugis mengilustrasikan tentang pentingnya penanaman pendidikan berkarakter sejak usia dini
Dalam ade pangampe, peran ibu sebagai guru pertama dan utama memegang peranan penting. Kata kuncinya, sekali lagi, ada dua, pembiasaan dan pencontohan. Dan ini harus tertanam sebelum seorang anak mengenal lingkungan pergaulan yang lebih luas. Mengapa seorang anak harus dibiasakan menjawab ye (ya dalam respon sopan) dibanding yo (ya dalam respon tidak sopan), karena yang ingin ditumbuhkan adalah pembiasaan hingga sampai pada penghayatan. Karakter itu kata kuncinya adalah pembiasaan. Pepatah melayu: kecil teranjak-anjak, besar terbawa-bawa, tua berubah tidak. Ingat pula lagu Bugis Ala Massea Sea Mua.
Adalah ‘pembiasaan’; seperti kata Pritchard, Dalam teori prilaku juga dikenal dengan istilah pembiasaan. Sesuatu yang sudah dibiasakan akan melekat dalam tindak spontan. Pepatah melayu “ala bisa karena biasa” mengisyaratkan bahwa karakter itu harus bertumbuh dari kebiasaan (baca juga pembiasaan), dengan kata lain ia merupakan sesuatu yang melewati proses panjang, tidak instan. Tidak semudah membalik telapak tangan. Lele bulu teng lele abbiasang, paseng Bugis juga mengatakan demikian
Sementara itu, dalam membangun karakter bangsa, perlu memperhatikan jatidiri masyarakat Indonesia yang bhineka baik asal usulnya maupun latar belakang sosial budayanya. Pembinaan sikap dan wawasan kebangsaan  (nasionalisme), pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa perlu menjadi pertimbangan yang utama. Memasuki era global yang sangat kompetitif, pembinaan karakter bangsa harus diarahkan pada upaya untuk lebih membina dan meningkatkan intelektualisme dan profesionalisme. Secara normatif, pendidikan dalam rangka pembangunan karakter  bangsa perlu mendasarkan pada Vísi, Misi, dan Fungsi pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dan signifikan dengan upaya pembangunan karakter bangsa yaitu meliputi: (1) manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) kecerdasan, (3) kemampuan, (4) watak dan akhlak mulia, (5) sehat, (6) berilmu, (7) cakap, (8) kreatif, (9) mandiri, (10) manusia Indonesia yang demokratis, (11) bertanggung jawab, dan (12) menghargai HAM

Sastra Membangun Kesadaran

Terdapat sebuah kesadaran bahwa kesusastraan memiliki hubungan yang unik dengan pembentukan nilai dan sikap kebangsaan. Di satu sisi, sejarah sastra (seni secara umum) menunjukkan bahwa sastra menempati posisi yang cukup penting dan strategis dalam pembentukan karakteristik kebangsaan, bahkan ikut terlibat langsung dalam pembentukan negara bangsa. Berbagai perdebatan dalam kesusastraan dan kebudayaan pada umumnya hampir selalu berbanding lurus dengan perdebatan soal pembangunan karakter bangsa dan kebangsaan. Singkat kata, sastra dapat dikategorikan sebagai salah satu pilar kebangsaan. Mungkin ini dianggap berlebihan, tetapi jika kita menengok sejarah Romawi Kuno, Inggrsi, Peradaban Mesir Tua, Melayu Nusantara dan China, maka peran sastra dipandang sebagai penyandi pendidikan berkarakter dalam arti luas.
Lalu kemudian, seringkali diperdebatkan tentang hubungan pendidikan karakter dan membangun karakter bangsa. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. Pritchard  (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.
Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’ (Christopher Paterson and Seligman, 2004) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak ditemukan kata karakter.  Kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; dan tabiat.
Dalam makalah ini, penulis merujuk pada pengertian pertama, yaitu karakter amat berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Ikonnya ada tiga; berprinsip, bernurani dan berjatidiri. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam ’Character Strength and Virtue’, mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan (virtues). Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Tidak berdimensi waktu dan tempat. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Bukan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik itu terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar. Yang bersentuhan dengan luar adalah kepanutan dari seseorang atau kelompok orang. Pengaruh buruk dari faktor eksternal, justru dapat direproduksi jauh lebih buruk. Kata pepatah Melayu, Guru kencing berdiri Murid kencing berlari.
Menurut  Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu  (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru.
            Sejalan pandangan sebelumnya, Hayadi (2011) melihat karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela).  Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, dan (22) panyayang. Sementara  itu, lawan dari sifat-sifat terpuji itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong, malas dan sebagainya.
Letak masalahnya bukan seperti sederetan kebajikan seperti disebutkan di atas. Tetapi nilai dominan yang ada dalam diri seseorang sehingga seseorang mampu berkontribusi terhadap kehidupan majemuk. Faktanya, banyak penghuni ‘kamar berjeruji besi’ juga memiliki sifat-sifat kebajikan dalam kehidupan sehari-harinya. Ia suka memberi, peduli lingkungan sesama, toleran dan seterusnya. Ini yang banyak mencengangkan dalam fakta keseharian yang kita konsumsi dan saksikan setiap saat.
Di negara ini yang hancur adalah keteladanan. Anggota DPR beradu jotos di parlemen, Aparat bersenjata represif dengan rakyat, Guru Agama memperkosa murid, Pemimpin yang dihormati mencuri uang negara, Putusan Pengadilan direkayasa, Dana bencana alam disunat, Uang pajak disalahgunakan, dan sejumlah non contoh lainnya. Semua itu berperanguh negatif terhadap karakter bangsa karena media informasi juga turut meng amplifier secara besar-besaran dan berulang-ulang.

Sastra Anak dan Pengajaran Sastra di Sekolah
Dalam konteks pengajaran sastra sebagai bagian dari media penumbuhan pembentukan karakter di lembaga pendidikan formal, paling tidak terdapat 3 (tiga) pertanyaan besar yang harus kita jawab. Ketiga pertanyaan tersebut sebagai berikut:
1.            Pengajaran Sastra dalam kaitannya dengan upaya menumbuhkan nilai dan sikap Kebangsaan. Bagaimana skenarionya?
Apakah sistem pengajaran sastra pada lembaga pendidikan formal telah memiliki muatan untuk menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan? Salah satu masalah besar yang kita hadapi sekarang ini karena pengajaran sastra di sekolah (khususnya SD dan SMP) tidak memperoleh porsi yang wajar. Pengajaran sastra hanya menumpang pada pengajaran bahasa. Sementara pengajaran bahasa juga disikut oleh pelajaran lain yang dianggap lebih mendesak.
Adakah tersedia buku ajar yang mampu membantu mendukung proses belajar-mengajar sastra yang menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan? Apakah institusi pendidikan telah mencetak guru sastra yang mampu memotivasi anak didiknya untuk memiliki kesadaran berkebangsaan dalam berperilaku sehari-hari melalui pengajaran sastra? Ini masalahnya
Pengajaran materi sastra seharusnya tidak diajarkan sebagai materi bacaan semata (statis) melainkan anak didik perlu dibiasakan untuk mengapresiasi sastra. Sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang hidup, karena di dalamnya mengandung potret kehidupan
2.            Eksistensi lahirnya berbagai karya sastra di tengah gencarnya peran dan pengaruh media lain di tengah masyarakat Sejauh manakah karya sastra (khususnya karya populer) mampu mendukung munculnya kesadaran nasional terhadap pembacanya? Kesadaran nasional seperti apakah yang diusung oleh karya sastra terjemahan? Apakah sastra pop mampu menjadi penetrasi morat maritnya kehidupan di luar sastra atau justru ia ikut larut dalam mengukuhkan kemoratmaritan itu? Bagaimanakah nasionalisme dihadirkan dalam karya sastra anak dan remaja misalnya? Bagaimanakah peran media massa - sebagai salah satu wadah produksi sastra - dalam mendukung pembentukan kesadaran nasional?
            Seorang guru sastra yang baik, harus mampu meyakinkan anak didiknya bahwa karya sastra memotret kehidupan yang berisikan contoh dan non contoh. Aspek contoh, adalah hal-hal yang dapat diteladani dalam kehidupan, sedangkan aspek non contoh merupakan hal yang harus dihindari.  Ini penting ditanamkan lebih awal karena bukan tidak mungkin melalui bacaan sastra terdapat hal-hal (perbuatan tidak terpuji), yang perlu diketahui untuk tidak dilakukan. Ini yang saya sebut sebut sebagai aspek non contoh.

 

3.            Bagaimana peran sastra (secara signifikan) dalam pembentukan karakter bangsa?
Sastra dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek isi, jelas bahwa karya sastra sebagai karya imajinatif tidak lepas dari realitas. Plato, sebagaimana dikutip oleh Damono (1979: 18) mengatakan bahwa kenyataan sosial yang tergambar dalam suatu karya sastra merupakan tiruan atau imitasi dari apa yang terjadi di masyarakatnya. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang terjadi pada suatu waktu, baik positif maupun negatif (baca contoh dan non contoh) direspon oleh pengarang. Dalam proses penciptaannya, pengarang akan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat itu  secara kritis,  kemudian mereka mengungkapkannya dalam bentuk karya imajinatif.

 

Catatan Penutup

            Jika karya sastra diyakini memiliki fungsi dulce et utile (nikmat dan bermanfaat), maka sudah sepantasnya karya sastra dapat dikukuhkan sebagai salah satu pilar untuk membangun karakter bangsa. Pada gilirannya fungsi dulce et ulite terejawantah dalam muatan sastra. Dan inilah yang harus dipenuhi sebagai karya yang mempunyai nilai tinggi (bermuatan tatanan sosial dan relevansinya dalam kehidupan masyarakat), yakni muatan estetis, etis dan logis. Inilah aspek yang merupakan trilogi keilmuan yang indah, baik dan benar, sehingga sejarah peradaban tua dari berbagai bangsa menjadikan sastra sebagai salah satu pilar pembentukan karakter bangsanya.
Kemanfaatan sastra diketahui karena ia mengandung pesan moral dan amanat kebajikan. Pesan moral dan amanat kebajikan amat  bersesuaian dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter tidak dapat diartikan sempit. Banyak karya sastra lama dan modern yang mengandung pendidikan karakter, di dalamnya berisikan tentang nilai-nilai dan prinsip kehidupan; kemanusiaan, harga diri, kritis, toleran, kerja keras, peduli sesama, hemat, dan bahkan rela berkorban untuk kepentingan yang lebih besar.
            Dengan mempromosikan karya sastra sebagai salah satu aspek penting dalam membangun karakter bangsa, itu berarti bahwa bacaan karya sastra telah diberi ruang untuk membangun jiwa bangsa. Apa kata W.R. Soepratman dalam lagu Indonesia Raya, /…bangunlah jiwanya, bangunlah badannya / / untuk Indonesia Raya./ adalah sebuah gambaran yang jelas bahwa pembangunan mental atau karakter bangsa tidak dapat diabaikan untuk mencapai kejayaan Indonesia. Harus disadari bahwa kepedulian membangun karakter bangsa berarti kita tengah merawat keindonesiaan kita.
            Saya ingin menakhiri tulisan ini dengan mengutip secuil dari The Nightmare of Losing’ karya A.D. Pirous / You lose your wealth, you lose nothing//You lose your health, you lose something//You lose your character, you lose everything/. Akhirnya selamat Ultah ke 51 Fakultas Ilmu Budaya Unhas

 

Bacaan Sumber
Abrams,  M.H. 1981. The Mirror and The Lamp. London: Oxford University Press., London.
Christopher Paterson and Martin E.P. Seligman, Character Strengths and Virtues : A Handbook and Classification, Oxford University Press, 2004
Damono, Sapardi Djoko, 1979, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengetahuan Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Eco, Umberto. 1992. “Interpretation and Overinterpretation”. Stefan Collini (Ed.). New York Port Chester Cambridge University Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. “Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi”. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Goldmann, Lucien. 1975. The Genetic Structuralist Methods in the History of Literature – Towards a Sociology of the Novel. Trans Alan Sheridan. London: Tavistock.
Hardjana, Andre. 1983. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Hartoko, Dick & Rahmanto B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hayadi, 2011. Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa. Dimuat dalam republik sastra (http://publiksastra.net/2011/09/peran-sastra-dalam-pembentukan-karakter-bangsa/#ixzz1fILMuNaz)
Hudson, William Henry. 1960. An Introduction to the Study of Literature. Sydney: George G. Harrap & Co. Ltd
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Toronto (series editor by H.G. Widdowson): Oxford University Press.
Lamont, W.D. 1946. The Principles Of Moral Judgement. Oxford. The Clarendon Press.
Levin, Harry. 1973. "Literature as an Institution" in “Sociology of Literature and Drama”. (Burns & Burns, Eds.). Harmondsworth: Penguin Books Ltd.
Lesser, Simon O. 1962. “Fiction and the Unconscious”. New York: State University Press.
Little, Graham. 1978. Approach to Literature. (fourth edition) Australia: Southwood Press
Luxemburg, Jan Van & Mieke Bal Willem G.W. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko) Jamakarta: Gramedia.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. “Sastra dan Religiositas”. Yogyakarta: Kanisius.
Maslow, Abraham, 1970. Motivation and Personality. Second Edition. New York: Harper and Row, Inc.
Pritchard, I. 1988. ”Character \education: Research Prospect and Problem” American Journal of Education. 96 (4) 1988.
Rahman, Fathu, 1985. The Moral Aspect in Some T.S. Eliot’s Poems. (unpublished) Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
-------------------  2010. Sastra Anak dalam Persimpangan. (published in Lensa Budaya (Volume 5 Nomor 1, April 2010). Makassar: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http:// www. mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Tilak, Raghukul.1985. Background to English Literature (A Study in Literary Forms). New Delhi: Rama Brothers
Wellek, Rene & Warren, Austin.1956. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, Inc
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama

*)Makalah ini telah dipresentasikan pada Seminar Internasional "Peran Ilmu-Ilmu Humaniora Dalam Membangun Karakter Bangsa" Pada FIB Unhas, 26 Januari 2012 [klik disidi]

Minggu, 25 Desember 2011

Dari Dialog Kebudayaan


Apa Kata Panitia
Dr. Mukhlis Paeni, Ketua BPKKI (Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia) menyatakan dialog ini dilakukan rangka persiapan kongres kebudayaan yang akan dilaksanakan tahun 2013. Tujuannya adalah untuk menghimpun masukan dari berbagai simpul, sebagai bahan pelaksanaan dialog kebudayaan secara nasional yang dijadwalkan pada tahun 2013
Isu Dialog
Setelah dilaksanakan di berbagai kota, Dialog Kebudayaan, sebagai persiapan Dialog Kebudayaan yang akan dilaksanakan pada tahun 2013, juga diselenggarakan di Makassar  Kegiatan di Makassar, Hotel Kenari Tower, 16-18 Desember 2011, menghadirkan berbagai pembicara: Prof Dr. Edy Sedyawati (Permasalahan Khusus Kebudayaan: Pengembangan Sumber Informasi Budaya dan Pembentukan Minat Budaya yang Tepat) Dr. Chuduriah Sahabuddin (Perspektif Kebudayaan Mandar: Sulawesi Barat) Dr. Ghufron Ibrahim (Kemajemukan yang Berpisahan: Tantangan Relasi Interaksi Kemasyarakatan di Maluku Utara) Dr. Anhar Gonggong Persoalan sejarah, kebudayaan dan kemasyarakatan di Indonesia perspektif Nasional)
Dr. Nunding Ram (Deapresiasi Nilai-Nilai Luhur Bugis Makassar) Dr. Stanislaus Sandarupa (persoalan sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Toraja) Prof. Dr. Sulaeman  Mamar (tingkat persoalan sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan lokal di sulawesi tengah) Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Menyoal Bangsa yang Lengah), Alex Ulaean Dea (Dari Wacana hingga Aksi: Amatan dan Persoalan Sosial Budaya Sejarah dan Kemasyarakatan di Sulawesi Utara) Prof. Dr. H. Nasaruddin Sayuti M.Si (Perubahan Makna Sama dan Bagai Pada Masyarakat Bajo) Prof. Dr. Anwar.Hafid (Fungsi Medulu dalam Kehidupan Sosial Etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara). Prof. Dr. Ayu.Sutarto (Kergaman yang membuahkan berkah: sebuh pemetaan budaya) Prof I Ketut Ardana (Globalisme dan Multi-Versalisme: Beberapa Catatan tentang Dinamika di Bali) Leonardus Nahak M.A (persoalan kebudayaan di NTT)
Dr. Bernada Materay yang tampil pada sesi terakhir cukup memancing dialog ke ranah politik. (Mengkaji Kembali Keindonesiaan di Antara kepapuaan di Papua) Christian Isaac Tamaela, M.Th.CM, MA. (Revitalisasi Eksistensi Kebudayaan Nasional Berdasarkan Nilai-Nilai Kebudayaan Daerah: Apresiasi dan Persepsi)  Drs. SuradiYasil (Tantangan Terhadap Kebudayaan Mandar)
          Dialog penuh dinamis, masalah korupsi, pilkada, masalah sosial politik di Maluku dan Papua turut menjadi preposisi dan analogi dari berbagai diskusi. Saya merasa berbahagia karena sempat hadir pada Dialog ini, bahkan berkesempatan memandu salah satu sesi yang telah dijadwalkan panitia.
.
Ada Yang Terlupakan
Seharusnya dalam dialog kebudayaan, paling tidak pembicaraan akan berkisar pada 4 hal penting; cultural facts (Fakta-Fakta Budaya), cultural phenomena, (fenomena budaya), cultural maintenance (pelestarian budaya) dan cultural engineering (rekayasa budaya) . Materi dialog cukup segar dan produktif, tetapi semua berkisar pada fakta-fakta budaya, fenomena budaya dan pelestarian budaya. Rekayasa budaya boleh dikata terlupakan. Padahal, tanpa mengnyampingkan 3 hal lainnya, Indonesia butuh terapi yang sistimatis untuk menjawab permasalahan bangsa ini. Dan itu ranahnya di rekayasa budaya. Pendidikan Berkarkter seharusnya menjadi urusan bagi semua, tak terkecuali masalah budaya.
Mengapa seringkali masalah budaya dipandang tidak strategis untuk mengambil peran dalam pembinaan karakter bangsa, karena kita sering terjebak  ke dalam perbincangan  pada cultural facts dan cultural maintenance  Kebudayaan itu amat dinamis dan progres Atau orang lain memandang bahwa dialog kebudayaan akan berbicara soal artefak dan museum, sementara siapa pun juga takut menjadi manusia artefak yang hanya akan dipajang di museum.
Bangsa ini mengalami masalah yang kronis. Setidaknya ada sesutu yang salah. Prilaku merusak, saling menindas, memandang kelompok lain adalah musuh, menjarah uang negara, memalsukan dokumen negara, makelar kasus dan sebagainya merupakan masalah yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan pendekatan hukum, pendidikan, dan khutbah agama, tetapi memerlukan peran penting dari pendekatan budaya.
Masalah lain yang kita hadapi adalah bangsa ini merupakan bangsa besar yang didalamnya serba multi. Multi etnik, agama dan termasuk multi partai. Dalam kenyataannya semua memiliki potensi pergesekan. Bentrok dengan hasil pilkada, meledakkan gereja, mengepung jamaah di masjid merupakan sesuatu yang tidak perlu terjadi jika kita menyadari arti penting keberadaan kita di tengah keberadaan orang lain.
Malaysia misalnya, kini juga mengalami masalah multikultur dan multietnik. Mereka sadar bahwa ini harus ditangani dari berbagai perspektif, tak terkecuali masalah yang boleh dianggap sangat sepele. Ini contohnya, Kartun Ipin dan Upin, membangun cara pandang anak-anak akan pentingnya hidup bersama sederajat dan saling memerlukan, bukan sebaliknya. Ipin dan Upin (Mukhlis Paeni pernah mencontohkan pada suatu kesempatan) merupakan salah satu rekayasa budaya yang dilakukan oleh Malaysia bagi generasi sekarang, dan hasilnya dapat dinikmati 20 – 30 tahun kemudian. Ini lah rekayasa budaya.
foto diupload oleh Dafirah melalui facebook


Minggu, 11 Desember 2011

The Ordinary Language Philosophy (Filsafat Bahasa Biasa)


Fathu Rahman
Universitas Hasanuddin

        Wittgenstein adalah penulis Tractatus Logico-Philosophicus yang merupakan sumber inspirasi kaum logis-positivis dalam hal analisis antara pernyataan yang bermakna dengan pernyataan yang tidak bermakna  Filsafat analitik sesungguhnya lahir sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealisme, terutama kalangan teolog yang sangat mengagungkan pentingnya metafisika.
Apa yang menjadi pemikiran - tokoh filsafat analitik menyadari bahwa banyak problematika filsafat yang dapat diselesaikan melalui filsafat analitik. Dan bahasa merupakan pusat perhatian filsuf analitik. Kalangan filsuf ini ingin mewujudkan suatu bahasa yang ideal, yaitu bahasa yang memiliki struktur logika yang sesuai dengan struktur logika dari realitas dunia. Tokohnya adalah Wittgenstein yang melahirkan karya Tractatus Logico Philosophicus yaitu karya yang menekankan pada aspek semantik bahasa.
Para pengikut filsafat analitik meyakini bahwa logika bahasa ungkapan-ungkapan metafisik dari kalangan penganut idealisme terutama theologi, etika, aksiologi, estetika dan utamanya ontologi pada hakikatnya tidak bermakna karena tidak menggambarkan realitas empirik.
Namun muncul pengakuan Wittgenstein bahwa karyanya, Tractatus Logico Philosophicus, memiliki keterbatasan dan kelemahan, dan ini merupakan pengakuan jujur hingga lahirnya karya philosiphical investigation.  Dengan kata lain philosiphical investigation lahir sebagai reaksi dari Tractatus
Tractatus mendasarkan pada aspek semantik bahasa (logika bahasa) menemui banyak keterbatasan philosiphical investigation merupakan bentuk filsafat biasa (ordinary language)
 Kalimat dan bahasa
“kita melihat bahwa apa yang kita sebut kalimat dan bahasa tidak mempunyai kesatuan formal yang saya bayangkan, akan tetapi lebih merupakan kelompok struktur yang kurang lebih berhubunganantara satu dengan yang lainnya.” (1983:108)
 Language Games (Tata Permainan Bahasa)
Apa yang dimaksudkan dengan Language Game di sini adalah Tata Permainan Bahasa. Bahwa menurut kenyataannya, bahasa merupakan sebagian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan. Jadi kita dapat melihat jamaknya atau majemuknya permainan bahasa dalam khidupan sehari-hari.
 Esensi Pandangan Wittgenstein
         Makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu ada;ah penggunaannya dalam hidup” (p.146)
         Org tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu berfungsi. Org hanya harus melihat penggunaannya dan belajar dari padanya (p.146
         Filsafat sama sekali tidak boleh turut campur dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya, dan sebenarnya filsafat hanya dapat menguraikannya. (p.146)

Makna Kata
          Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna kalimat tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa tergantung penggunaannya dalam hidup. (p.149)
Kritik Wittgensten atas Bahasa Filsafat
1.      Kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa.
2.      Adanya kecendrungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya
3.      Penyamaran atau pengertian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat difahami misalnya ‘kebenaran’, ‘ketiadaan’ dsb.
            Oleh karena itu Wittgenstein mengajurkan agar menghindari atau melewati penyamaran dari sesuatu yang tidak terfahami itu dengan menunjukkan bhw hal itu sebenarnya nirarti belaka.

Tugas Filsafat
Bahasa Filsafat yang memiliki berbagai kelemahan dapat diatasi manakala kita mengetahui dan menerapkan analisis bahasa dalam  Filsafat. Bahasa Filsafat dapat teratasi bilamana meletakkan tugas filsafat sebagai analisis bahasa. Terdapat dua hal yang terkait dengan tugas filsafat dalam bhasa yakni (1) Aspek Penyembuhan (therapheutics), dan (2) Aspek Metodis
Sedangkan aspek metodologis terbagi lagi atas dua bagian:
A)    Dalam berfilsafat harus meletakkan landasannya pada penggunaan bahasa sehari-hari, dengan memperhatikan secara teliti aturan-aturan permainan bahasa (language games)
B)    Upaya untuk keluar dari kekacauan itu Wittgenstein mengibaratkan seperti seekor lalat yg terjebak dalam sebuah botol bening, seakan berada di dunia luar akan tetapi sebenarnya ia terperangkap dalam ruangan tersebut
Bagi Wittgenstein untuk mengatasi kekacauan tersebut haruslah melalui penampakan jalannya bahasa, yaitu bukannya melalui keterangan baru melainkan menyusun kembali apa yang telah kita ketahui

Selasa, 08 Maret 2011

Sastra Anak Dalam Persimpangan*)

Fathu Rahman
Pendahuluan
Sastra anak atau children’s literature  merupakan salah satu dari genre sastra, untuk mendistinsi sastra anak dan sastra bukan untuk anak. Dengan kata lain, suatu cara untuk membedakan karya sastra yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak. Istilah sastra anak awal mula dikemukakan oleh para kritikus sastra di Eropa sekitar tahun 50an atau jauh sebelumnya. Rene Wellek (1956) mendefinisikan sastra anak sebagai produk sastra bacaan anak-anak. Semenetara Hunt (Nurgiyantoro, 2005: 8) sastra anak adalah buku bacaan yang dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk, dan yang secara khusus pula memuaskan sekelompok anggota yang disebut anak. Jadi sastra anak adalah buku bacaan yang sengaja ditulis atau diciptakan untuk dibaca oleh anak-anak. Isi karya tersebut sejatinya sesuai dengan minat dan dunia anak-anak, setara dengan tingkat perkembangan emosional dan intelektual anak, sehingga dapat memuaskan mereka.
Intinya adalah sebuah karya imajinatif yang sengjara diciptakan dan diperuntukkan kepada anak-anak. Namun demikian, sastra anak, sebagaimana hakikat sastra secara umum adalah sastra harus bertujuan dan berfungsi utile et dulce (bermanfaat dan indah) sebagaimana yang dicetuskan oleh Horatius. Sastra anak tidak boleh gagal dalam mengemban perannya untuk memberikan edukasi dan hiburan bagi anak-anak. Harus mengajarkan contoh-contoh yang berguna, bukan sebaliknya, menghadirkan sesuatu non contoh yang berisikan sesuatu yang tidak terpuji. 
Yang menarik, sastra anak kini menjadi kegelisahan bagi para peneliti sastra anak lokal (Indonesia), justru setelah sastra anak ini mulai ditinggalkan oleh pembacanya (baca: anak-anak). Kini sastra sastra anak berada dalam persimpangan jalan ditengah gempuran media elektronik yang jauh lebih diminati oleh anak-anak.  Termasuk maraknya sastra anak terjemahan dan saduran yang mendominasi pasar.
Ada sejumlah pertanyaan yang harus tuntas sebelum kita terlalu jauh membahas tentang sastra anak (children’s literature). Oleh berbagai kalangan memandang sastra anak dalam dimensi yang berbeda. Pandangan dimaksud berkisar antara lain:
1.    Apakah Sastra anak itu, karena materi (objek dan tokohnya) masalah anak-anak
2.    Tema yang diemban adalah masalah seputar dunia anak.
3.    Apakah karena tokoh utamanya adalah anak-anak, atau karena
4.    Apakah karena karya sastra itu penulisnya adalah anak-anak, atau karena 
5.    Karya yang tendensinya ber happy-ending di tangan anak-anak.
Namun yang pasti, kata kuncinya adalah bahwa sastra anak tidak harus dari anak-anak tetapi harus untuk anak-anak.
Jika kita telusuri dengan cermat, ciri sastra anak adalah karya yang mengetengahkan tentang dunia anak dengan tujuan untuk menumbuhkan apresiasi dan moral atau rasa kejuangan bagi si anak. Sastra anak harus tersaji dalam bahasa yang lugas, logis dan visible sehingga betul-betul menjamin keterjangkauan berpikir logis bagi si anak dengan plot (alur cerita) yang dapat membantu cita rasa humanis bagi anak si anak. Selain itu seyogyanya sastra bersifat pragmatis.
Jika asumsi bahwa sastra anak kini mengalami keterasingan dari anak-anak, lalu bagaimana pula nasib sastra lisan (berupa dongeng dan fable, atau ceritera rakyat lainnya) yang dahulu dapat menjadi konsumsi anak-anak yang diceritakan oleh sang ibu sebagai pengantar tidur. Hal ini juga bernasib hancur. Pengantar tidur si anak sekarang ini adalah menonton tayangan TV malam yang boleh jadi tidak tepat untuk mereka.
 Si ibu menceritakan anaknya kisah maling kundang sebagai pengantar tidur misalnya, itu akan membangun jiwa sang anak untuk tidak durhaka pada orang tua. Bukan menonton tayangan TV dimana sang anak “membentak ibunya” dan sebagainya. Poin-mark yang tertulis di sudut layer kaca TV (BO; bimbingan orang tua) tidaklah menjamin bahwa tayangan-tayangan tidak disalah konsepsikan si anak setelah menonton semua itu.

Fungsi Sastra
Salah satu fungsi utama karya sastra adalah mentransformasi nilai-nilai kehidupan secara estetis, dramatis dan fragmatis. Karya sastra sejatinya harus pragmatis karena cerminan kehidupan untuk kehidupan. Karya sastra akan memperkaya pengalaman bagi pembacanya. Dengan membaca karya sastra pengalaman seseorang dapat saja melampaui “kekinian” dan menghadirkan “kedahuluan” dalam kehidupan ini. Ia memperkaya pengalaman spiritual pembacanya yang pada gilirannya akan membangun persepsi dan pengetahuan serta membangun kepribadian. Karena, salah satu eksistensi karya sastra adalah lahir dari refleksi kehidupan.
          Banyak orang tidak menyadari betapa pentingnya karya dibaca untuk membangun pengalaman. Memetik manfaat bagaimana tokoh karya memecahkan masalahnya, mengapa konflik harus terjadi, tokoh siapa yang berlaku bijak, dan atau tokoh mana yang bejat. Apa motifnya, dan sebagainya. Melalui pembacaan sastra, si pembaca akan melihat setting tempat yang tergambarkan di dalamnya, termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang terkait dengan budaya secara umum. Kendatipun ia lahir secara fiktif dan imajinatif tetapi sudah pasti pengarang telah menghadirkan sesuatu yang fiktif itu menjadi sebuah miniatur kehidupan yang mungkin akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
          Eksistensi sastra anak dan minat baca sastra bagi anak-anak saling terkait. Menurunnya minat baca sastra anak bagi anak-anak kini telah tergeser jauh oleh tayangan televisi yang menyerbu keseharian kita. Dengan tayangan-tayangan khusus yang dikemas untuk dunia anak merupakan salah faktor yang menggeser minat baca sastra bagi anak-anak. Meskipun kebanyakan, program anak-anak di TV, kebanyakan juga diangkat dan disadur dari karya-karya “sastra anak” yang populer. Kita tidak boleh melupakan bahwa sastra anak dapat dimanfaatkan untuk mengajarkan anak-anak membaca. 

Pengajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah
Kita semua tahu bahwa porsi pengajaran sastra di sekolah tidak mendapat tempat yang memadai. Apalagi pengajaran sastra hanya ditumpangkan pada pelajaran bahasa Indonesia yang juga bernasib sama. Materi-materi pelajaran (textbook) bahasa Indonesia, menurut pengamatan penulis, tidak memperluas ruang pengajaran sastra, tetapi pada bagian materi bacaan yang ada justru yang menumpang adalah materi sejarah, biorafi, kepariwisataan dan lingkungan hidup. Materi itu pasti sangat penting di satu sisi tetapi telah mengambil ruang penyajian sastra yang seharusnya disana. Hancurnya pengajaran sastra di sekolah dapat diduga karena implikasi kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Hal ini terkhusus kepada penentu kebijakan penetapan kurikulum sekolah. Dengan sistim kisi-kisi, maka secara tidak langsung memaksa penulis buku untuk ikut kisi-kisi yang boleh jadi tidak proporsional itu. Jika kita bertanya kepada penulis buku materi pelajaran bahasa Indonesia untuk tingkat SD, jawabnya pasti bahwa ia berdasar pada kisi-kisi yang telah ditentukan.       
Di Sekolah Dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasikan karya sastra. Jika ditilik secara cermat, maka pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada siswa yang akan berkontribusi pada 4 tujuan (Wahidin, 2009 ), yakni:
1.    Pencarian kesenangan Pada buku
2.    Menginterprestasikan bacaan sastra
3.    Mengembangkan kesadaran bersastra
4.    Mengembangkan apresiasi
Ke empat aspek di atas, seyogyanya menjadi perhatian bagi penulis materi pelajaran Bahasa Indonesia untuk sekolah Dasar.
Hakikat Sastra Anak
Sastra anak di Indonesia paling tidak memiliki tiga persoalan utama: (1) kuantitas dan kualitas sastra anak, (2) sastra anak seharusnya berjalan secara simultan dengan minat baca anak, (3) gempuran media elektronik yang menjauhkan anak dari minat baca, dan (4) peran sekolah, khususnya sekolah dasar, untuk mendorong kecintaan terhadap sastra secara umum.    
Pembelajaran sastra di SD adalah pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan (Wahidin, 2009: 1).
Pada umumnya, jenis sastra anak meliputi karya prosa, puisi, dan drama. Namun yang paling menojol adalah prosa dan puisi. Seperti diutarakan sebelumnya. Sastra Anak (berdasarkan kehadiran tokoh utamanya), dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu :
(1)      sastra anak yang mengetengahkan tokoh utama benda mati,
(2)      sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya makhluk hidup selain manusia,
(3)      sastra anak yang menghadirkan tokoh utama yang berasal dari manusia itu sendiri.
Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan, informasi dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak seyogyanya memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Adapun fungsi hiburan dalam sastra anak dapat menjadikan anak merasa terhibur dan bahagia atau gemar membaca, senang dan antusias mendengarkan sebuah cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan tentu saja mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya (Wahidin, 2009, Ibid).
Sebagai jalur penting dalam pengajaran sastra, Loban (Endraswara, 2005: 103) mengemukakan bahwa apresiasi harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu :
Apresiasi sastra harus mampu berpengaruh pada kejiwaan individu
a.     Individu mampu merespon pada karya yang sedang dinikmati, baik secara emosional maupun secara intelektual
b.     Kegunaan sastra sampai pada lahirnya pemahaman diri sendiri
c.     Karya sastra harus memberikan imajinasi yang mampu menghadirkan pengalaman sastra yang menakjubkan
d.     Kapasitas sastra dalam menyerap pikiran dan emosi akan menyadarkan pembacanya ke arah hidup yang sejati.
Aspek apresiatif mengarahkan kita pada pemahaman bahwa pengajaran sastra seharusnya mengarah pada aspek pragmatis, yaitu kegunaan atau fungsi sastra bagi peserta didik. Terdapat dua fungsi pokok pengajaran sastra, yaitu, pertama, pemerolehan kompetensi pada tataran pengalaman yang akan memungkinkan peserta didik mengakses berbagai hal lewat pembacaan karya sastra. Kedua, pemerolehan gambaran dan penjelasan secara luas dari pengalaman itu sendiri (Endraswara, 2005: 42).

Jenis-Jenis Sastra Anak
Sastra anak lahir bersamaan dengan lahir karya sastra itu sendiri.  Namun demikian sastra anak jauh lebih memasyarakat dibanding dengan sastra dewasa. Alasannya amat sederhana, pada jamannya,sastra dimanfaatkan sebagai alat untuk menghibur dan mendidik anak-anak. Dan umumnya berasal dari dongeng-dongeng dan ceritera rakyat yang hidup secara turun temurun.
Sebelum media cetak berkembang pesat yang secara simultan dengan perkembangan media layar kaca, sastra anak tumbuh subur sebagai media hiburan yang dibaca oleh anak-anak atau dituturkan ibu ketika meninabobokkan anak-anaknya. Tentu hal ini, selain sebagai hiburan, juga sebagai sarana pendidikan. 
Bunanta (1999: 41-48) membagi bacaan anak menjadi buku bacaan bergambar, komik, sastra tradisional, fantasi modern, fiksi realistis, fiksi sejarah, puisi, buku informasi, buku biografi. Pembagian Bunanta ini tidak jauh berbeda dengan pembagian yang dilakukan oleh Lukens (1999). Lukens membagi bacaan anak menjadi realism (realistic stories, animal realism, historical realism, sport stories), formula fiction (mysteries and thrillers, romantic stories, and series novel), fantasy (fantastic stories, high fantasy, and science fiction), tradisional literature (fable, folktales, myths legend and hero tales, and folk epics), poetry, nonfiction, dan biography.
          Kehidupan sastra anak kini jauh berbeda dengan jaman dulu. Sastra anak lisan mulai pudar ditengah pesatnya perkembangan dunia cetak. Malah sastra lisan anak kini ditulis ulang secara variatif disertai dengan gambar-gambar yang lebih mengembangkan imajinasi si anak.

Sebagai bacaan yang dikonsumsi anak sastra anak diyakini mempunyai kontribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju arah kedewasaan yang memiliki jatidiri yang jelas. Jatidiri seorang anak dibentuk dan terbentuk lewat lingkungan yang diusahakan secara atau tidak sadar. Lingkungan yang dimaksud amat luas, termasuk didalamnya sastra, baik sastra lisan yang diperoleh anak melalui tuturan maupun sastra tulis yang diperoleh melalui bacaan. Sastra yang dikonsumsi anak mampu digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanam, memupuk, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai yang baik dan berharga oleh keluarga , masyarakat, dan bangsa. Pewarisan nilai-nilai yang baik akan dapat bertahan apabila telah tertanam sejak anak masih kecil, dapat dilakukan ketika anak belum berbicara dan membaca. Misalnya dengan nyanyian yang didendangkan orang tua untuk membujuk si kecil agar segera tidur, untuk menghibur dan menyenangkan. Tentunya sastra semacam ini mengandung nilai yang berpengaruh bagi perkembangan kejiwaan bagi anak, misalnya nilai kasih sayang, perhatian dan keindahan. Perkembangan anak tidak akan wajar manakala tidak didukung kasih sayang dan perhatian . Nilai keindahan dalam nyanyian membangkitkan potensi anak untuk mengembangkan nilai seni pada dirinya, baik dalam pengertian menikmati maupun berekspresi. Pada awal perkembangan anak maka orang tualah yang mula-mula membangkitkan potensi, mengolah jiwa, dan mengajak menikmati keindahan sastra. (Puryanto, 2008: 5)

Aspek Psikopedagogik
Sastra anak, kini lebih bergairah diteliti oleh disiplin ilmu tertentu dibanding oleh bidang ilmu sastra itu sendiri. Bidang ilmu yang memungkinkan meletakkan sastra sebagai salah satu objeknya adalah pendidikan, psikologi, sosial, religi dan linguistik. 

Praasumsinya sangat sederhana yaitu, karya sastra dipandang sebagai gambaran dari masyarakat. Dengan kata lain ia merupakan refleksi dari suatu kehidupan, dan seluruh permasalahannya. Dengan sifat mimetisnya, sebuah karya sastra memotret manusia dan kehidupannya untuk kemudian dipahami oleh pembacanya sebagai upaya untuk memahami manusia dan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pandangan Horatius bahwa sastra harus bertujuan dan berfungsi utile et dulce (bermanfaat dan indah). Bermanfaat karena pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga dalam membaca karya sastra, yang mungkin bisa menjadi pegangan hidupnya karena mengungkapkan nilai-nilai luhur. Mungkin juga karya sastra mengisahkan hal-hal yang tidak terpuji, namun pembaca masih bisa menarik pelajaran, sebab dalam membaca dan menyimak karya sastra pembaca dapat ingat dan sadar untuk tidak berbuat demikian. Selain itu, sastra harus bisa memberi nikmat melalui keindahan isi dan keindahan bahasanya (Pradotokusumo, 2005: 6).
Berkat keindahannya, karya sastra dianggap menampilkan kualitas estetis yang paling beragam sekaligus paling tinggi. Aspek estetis karya sastra dihasilkan oleh keragaman genre yang bersifat dinamis, ketakterbatasan cerita yang dihasilkan yang tergantung pada kemampuan pengarang dan pembaca untuk menciptakan dan menafsirkannya, serta bahasa sebagai medium karya sastra yang memiliki kemampuan untuk berkembang secara tak terbatas, yang tergantung pada kemampuan imajinasi pembaca (Ratna, 2007 : 289 - 290). Aspek estetis akan tampak bila pembaca mampu melihat dan menikmatinya.
Kepekaan pembaca akan membuat kehidupan ini penuh makna, akan melihat betapa setiap ciptaan Tuhan berfungsi. Tugas manusialah untuk memanfaatkan semua itu. Sebaliknya tanpa kemampuan untuk melihat keindahan, semua hal menjadi tak bermakna, sehingga hidup menjadi hampa. Estetika mempengaruhi manusia melalui kesadaran total proses psikologis. Mencermati pentingnya estetika dalam kehidupan manusia, maka Mukarovsky sebagaimana dikutip oleh Ratna, (2007: 291) menyebutkan tiga fungsi, yaitu:
-         Membangkitkan rasa bahagia, tenteram, dan damai
-         Mendominasi pusat perhatian pada saat tertentu, sekaligus mengabaikan perhatian lain yang pada saat itu tidak diperlukan
-         Mengganti fungsi lain yang sudah usang.
Ketika berbicara aspek estetis, maka terlihat bahwa pembaca memiliki peran yang penting. Aliran postrukturalisme memberikan kedudukan terhormat kepada pembaca, sehingga pembaca seolah-olah menjadi penulis. Hal ini menjadi dasar bagi perkembangan estetika resepsi, yaitu aspek-aspek keindahan yang timbul sebagai akibat pertemuan antara karya sastra dengan pembaca. Dari sinilah muncul dan berkembangnya teori resepsi dalam ilmu sastra.
Sebuah karya sastra mempertemukan aspek estetika dengan etika. Dengan kekuatan aspek estetis, aspek etis secara tidak langsung masuk di dalamnya. Sebuah karya sastra memuat nasihat, teladan, pendidikan, dan pengajaran, yang kesemuanya disampaikan secara tidak langsung. Tentu dengan bahasa yang indah pula. Untuk memanipulasi ciri-ciri etis suatu karya sastra, bahasa berperan penting. Penggunaan metafora, makna konotatif, dan aspek stilistika membuat pembaca melihat aturan dan norma semata sebagai keindahan. Dengan kekuatan bahasa, dan logika sederhana, karya sastra dianggap lebih mampu mengubah tingkah laku manusia dibandingkan hukum formal. Apa yang ada dalam karya sastra tidak boleh anti logika.
Keindahan sastra diharapkan dapat mengarahkan manusia untuk berperilaku estetis dan humanis, sehingga kehadirannya akan memperoleh makna yang positif dalam masyarakat. Karya sastra harus berfungsi membangun kehidupan sosial, menciptakan energi baru, serta melahirkan pola dan struktur yang baru. Jadi sastra dan keindahannya akan memberikan manfaat kepada umat manusia.
Manfaat sastra tidak hanya dapat dirasakan oleh orang dewasa, namun juga oleh anak-anak. Manfaat pertama yang dirasakan oleh anak-anak adalah kesenangan. Namun, lebih jauh lagi, mereka dapat memperoleh manfaat lain, yaitu :
-         Karya sastra adalah sumber utama untuk mengenali warisan kesusastraan dari generasi ke generasi.
-         Dengan memahami dan menikmati karya sastra, maka sastra berperan dalam pemahaman dan penilaian terhadap warisan budaya.
-         Pengembangan perilaku positif terhadap budaya sendiri sekaligus budaya lain yang sangat penting bagi perkembangan sosial dan personal. Karya sastra membangun pemahaman dan pengertian antarbudaya.
-         Melalui karya sastra anak-anak melihat bagaimana tokoh menangani masalah yang dihadapi. Proses identifikasi dengan tokoh membuat mereka kemudian akan dapat mengatasi masalahnya sendiri. Selain itu mereka juga akan memahami perasaan orang lain.
-         Karya sastra merupakan pintu menuju pengetahuan dan pengembangan minat.
-         Karya sastra memperkaya dan memperluas imajinasi, sekaligus estetika.
-         Karya sastra membantu perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan kepribadian, dan perkembangan sosial anak. (Norton, 1983: 5)
Ketika timbul kesadaran bahwa anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa, maka mereka memerlukan karya sastra yang khusus diperuntukkan bagi mereka.
Kemudian sebuah genre sastra baru mulai dikenal, yaitu sastra anak (Children’s literature, littérature de jeunesse). Hunt (Nurgiyantoro, 2005: 8) mendefinisikan sastra anak sebagai buku bacaan yang dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk, dan yang secara khusus pula memuaskan sekelompok anggota yang kini disebut anak. Jadi sastra anak adalah buku bacaan yang sengaja ditulis untuk dibaca anak-anak. Isi buku tersebut harus sesuai dengan minat dan dunia anak-anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosional dan intelektual anak, sehingga dapat memuaskan mereka.
Salah satu jenis sastra anak yang dikenal adalah bildungsroman (dalam bahasa Perancis dikenal dengan sebutan roman de formation) yang lahir di Jerman pada masa sastrawan besar Johann Wolfgang von Goethe. Bildungsroman memiliki tema perjalanan evolutif tokoh utama dalam menjadi manusia yang ideal dan berpengetahuan luas. Tokoh protagonis melalui suatu proses evolusi dan pada saat yang sama harus berhadapan dengan dunia dan permasalahannya. Tokoh yang masih muda, naif, dan penuh dengan idealisme harus menghadapi dunia nyata yang berbeda dengan yang dibayangkannya. Hal ini kemudian menimbulkan pertentangan antara jiwa yang idealis dengan kenyataan yang berlawanan. Sebagai konsekuensinya muncullah ketidakpahaman dan penolakan baik dari si tokoh maupun dari lingkungannya.
Dari sini terjadi proses evolutif dan edukatif di mana tokoh memperoleh pengalaman konkret yang akan membuatknya dewasa dan matang. Perjalanan protagonis pada umumnya berakhir dengan keadaan yang harmonis dan seimbang dengan dunia sekitarnya. Tokoh utama akhirnya dapat berdamai dengan dunia dan menemukan tempatnya, sehingga dia menjadi bagian dari dunia yang dahulu ditolaknya. (Witakania. 2010: 8)
Dalam genre bildungsroman, konsep formasi atau pendidikan memegang peranan penting. Proses formasi atau pendidikan ini tidak hanya terjadi dalam dunia tokoh cerita, melainkan juga, diharapkan, terjadi pada diri pembacanya. Disinilah esensi penting dalam membaca karya sastra.
Dari uraian di atas terlihat bahwa karya sastra memiliki muatan pendidikan, dan sebaliknya, dunia pendidikan juga memerlukan sastra sebagai wahana pendidikan. Jadi, pendidikan dan sastra merupakan dua aspek yang saling menunjang. Oleh karena itu, pengajaran sastra di institusi pendidikan tidaklah dapat dipandang remeh. Ketika pengajaran sastra mulai terpinggirkan, pada saat yang sama di situlah minat baca mulai dilumpuhkan.
Melalui pengajaran sastra, sesungguhnya kita telah dibawa ke tingkat manusia terdidik, yaitu manusia yang mampu berpikir tentang hidup, pandai memahami rahasia hidup, menghayati kehidupan dengan arif, dan mempertajam pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengajaran sastra pula, peserta didik akan mampu memahami diri secara individu dan kelompok, sehingga akan menjadi manusia yang utuh, bermental baik, dan humanis (Endraswara, 2005: 53). Jadi pengajaran sastra melibatkan pendidikan kejiwaan sekaligus kemanusiaan. Pengajaran sastra seharusnya bertumpu pada pembinaan apresiasi, sehingga peserta didik akan mampu menerima, memahami, menghayati, merespon, dan mereaksi karya sastra. Pada akhirnya mereka akan mampu menginterpretasikan sastra atas dasar pengalamannya. Untuk sampai pada kemampuan apresiatif, diperlukan
beberapa langkah, yaitu :
a.       Keterlibatan jiwa. Melalui perasaan empati dan simpati terhadap karya sastra, pembaca akan mampu menginternalisasi tokoh, peristiwa, dan karakter sesuai dengan pengalaman pribadinya.
b.      Penghayatan sejati terhadap karya sastra dengan memasuki cipta sastra secara inten, menikmatinya dengan kedalaman jiwa dan imajinasi.
c.       Pengimplentasian pengalaman yang ada dalam karya sastra dengan kehidupan nyata, sehingga sebuah karya sastra menjadi bermakna dan kontekstual (Endraswara, 2005: 78 -79).

Sastra Saduran dan Terjemahan
Berbagai cerita anak dalam bentuk dongeng, cerita bergambar, dan cerita pendek telah banyak diterbitkan di Indonesia baik dalam majalah maupun buku. Sayangnya, sebagian besar karya sastra anak yang beredar bukanlah merupakan karya asli dari negeri sendiri melainkan terjemahan dari karya sastra asing. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerbitan sastra anak terjemahan tersebut dapat mengisi kekosongan akan karya-karya sastra anak yang bermutu di Indonesia. Akan tetapi, sisi lain yang perlu mendapat perhatian dari keberadaan sastra anak terjemahan adalah nilai-nilai budaya asing yang turut dibawa dalam karya-karya tersebut mengingat eratnya kaitan antara karya sastra dan budaya masyarakatnya. (Titien Diah Soelistyarini dan Edi Dwi Riyanto: 2010:1)
Jika argumennya adalah untuk mengisi kekosongan, justru mengapa sastra anak lokal amat kurang diindonesiakan, padahal tidak kurang sastra anak lokal yang cukup berkualitas, dan sudah barang tentu mengemban budaya nuantara karena tumbuh dari akar budaya nusantara. Kisah-kisah ceritera anak Lamellong yang ada di Sulsel misalnya, kini mulai terlupakan dan menghilang di telan saman.
Bahkan Asrori (2010)) mengklaim bahwa Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinat dari bacaan terjemahan. Kenyataannya memang penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Jadilah kita tamu di negeri sendiri. Bejibun karya terjemahan hadir, lihat saja Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), delapan judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, enam judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, tiga judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Pengarang sastra di Indonesia, apakah tidak terangsang untuk menulis karya sendiri dengan setting dan budaya Indonesia, sehingga turut membendung karya-karya terjemahan. Padahal kualitas kepenulisan pengarang Indonesia yang berminat menulis sastra anak juga ada yang membanggakan. Seorang Marissa Haque misalnya justru kini juga turut menulis karya untuk anak-anak.
Pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini adalah Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs (lihat Asrori, 2010).
Bukan cuma itu, sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales. (Asrori, Ibid. 2010).
Tantangan Global
Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini jadi demikian berat, selain karena kehidupan sastra anak di persimpangan jalan, juga karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat.
Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Conggress (Amerika) di mana telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama. Adakah karya sastra anak Indonesia masuk dalam daftar itu? Yang sulit dibayangkan bahwa bahasa Indonesia diduga telah menjadi salah satu bahasa sasaran, artinya karya-karya luar itu telah dapat dikonsumsi dalam bahasa Indonesia.
Namun yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie. (Lihat Asrori, 2010)
Globalisasi telah menghilangkan sekat geografis penduduk dunia. kini dunia begitu terbuka melalui media maya. Adakah kita (dunia sastra anak misalnya), ikut mengglobal atau semakin terpinggirkan. Kemajuan media elektronik sejatinya ikut mendorong pengembangan kehidupan kesusastraan secara umum, bukan justru sebaliknya. Pandangan ini mungkin juga sedang berada di persimpangan jalan. Meski demikian, tulisan ini diharapkan dapat memunculkan cara pandang yang kritis dalam menyikapi keberadaan sastra anak yang sedang dalam persimpangan jalan itu.
*)Catatan: Tulisan ini sudah dimuat dalam Jurnal Lensa Budaya Vol 5 No 1, April 2010 (ISSN 0126 - 351X)
Daftar Pustaka

Asrori, Mochammad. 2010. Setangkup Problematika Sastra Anak Indonesia. Web : http://warungfiksi.net/setangkup-problematika-sastra-anak-indonesia/
Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2005. Metode & Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Buana Pustaka
Hamalik, Oemar. 1995. Psikologi Remaja. Bandung : Mandar Maju
Hurlock, Elizabeth B. 1989. Psikologi Perkembangan. Diterjemahkan oleh Istiwidayanti dan Soejarwo. Jakarta : Erlangga
Lukens, Rebecca J. 1999. Critical Handbook of Children’s Literature, Sixth Edition. New York: Addison-Wesley Educational Publishers Inc.

Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional
Norton, Donna E. 1983. Through the Eyes of a Child : An Introduction to Children’s Literature. Ohio : Bell & Howell Company
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
___________________. 2005. Sastra Anak : Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta : Gramedia

Puryanto, Edi. 2008. Konsumsi Anak dalam Teks Sastra di Sekolah (Makalah Konferensi Internasional Kesusastraan XIX Hiski tahun 2008 di Malang).
Putri, Ciptanti. 2003. “Memahami Genre Buku Cerita Anak” dalam Majalah Matabaca Edisi Vol. 2/No. 1/Sepetember 2003.  
Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sarwadi. 1994. “Pengajaran Apresiasi Cerpen di Sekolah Menengah Atas” dalam Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Semi, M. Atar. 1985. Metode Penelitian sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.
Soelistyarini, Titien Diah dan Edi Dwi Riyanto. 2010. Nilai Budaya Asing Dalam Sastra Anak Terjemahan (http://www. Pusatbahasa.diknas.go.id/laman/artikel/Titien_Diah_Soelistyarini-UNAIR_NILAI_BUDAYA_ASING_DALAM_SASTRA_ANAK_TERJEMAHAN. Pdf).
Trimansyah, Bambang. 1999. Fenomena Intrinsik Cerita Anak Indonesia Kontemporer, Dunia Sastra yang Terpinggirkan. Bandung: Penerbit Nuansa.   
Wahidin. 2009. Hakikat Sastra Anak. 18 Maret 2009 (http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/18/hakikat-sastra-anak/).
Wellek, Rene and Warren A. 1956. Theory of Literature. A Harvest Book. New York: Harcourt, Brace and World Inc.

Yamazaki, Akiko. 2002. Why Change Names? On Translation of Children s Books dalam Children s Literature in Education. Vol. 33. No. 1. hal. 53-62.
Zainuddin. 1992. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.