Semua naskah di blog ini telah diproteksi dari tindak salin-langsung (copy-paste)

Jumat, 27 Januari 2012

Menggeledah Peran Sastra

dalam Pembentukan Karakter Bangsa

Fathu Rahman

Sekedar Pembuka
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan santun. Wah!, siapa bilang? Bangsa ini bangsa bringas, itu kata siapa? Bangsa ini bangsa yang beradab, apa betul? Bangsa ini berbudaya, apa? Bangsa ini …??, dan sejumlah lagi julukannya. Memang banyak predikasi bangsa ini yang perlu dibaca ulang. Pernyataan-pernyataan itu tidak ada yang salah. Yang pasti bangsa ini sedang meradang. Bangsa ini penuh dengan bahasa iklan,
 Ketika semua orang menyadari bahwa bangsa Indonesia tengah dilanda ‘keterpurukan, sejumlah kalangan; dunia pendidikan, tokoh agama, dan pemimpin umat, budayaan dan kalangan pemerhati bangsa secara sendiri-sendiri atau bersama mencari akar masalahnya. Korupsi merajalela, dari semua lapisan. Ada departemen yang diharap dapat memberi pencerahan, justru diduga sebagai departemen terkorup di Indonesia. Sangat mencengangkan. Dan mereka (kalangan orang peduli) menyadari bahwa ‘ada sesuatu yang salah di negeri ini’. Kebobrokan moral merupakan kata kunci yang dihipotesakan.
            Seminar yang terselenggara hari ini, menurut hemat saya juga merupakan reaksi atas keprihatinan melihat keterpurukan bangsa ini. Berseminar dengan tema “Peran Ilmu-Ilmu Humaniora dalam Membangun Karakter Bangsa” merupakan bukti nyata untuk mengambil peran dalam menemukenali permasalahan bangsa

Pendidikan Moral: Pendidikan Berkarakter
Beberapa tahun terakhir, pendidikan karakter tiba-tiba menjadi hal yang mendesak untuk dibicarakan. Berbagai kalangan memberi respon yang berbeda. Kalangan pendidik  muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti di semua jenjang pendidikan, sedangkan  agamawan memandang perlunya  penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila (tapi bukan ala jaman Soeharto).  Kemendiknas (kini Kemendikbud) tidak tinggal diam, ia mencoba merespon berbagai masukan meski sampai sekarang langkah konkrit belum tampak nyata. Yang ada, berbagai lembaga pendidikan menyelenggarakan seminar yang membicarakan masalah keterpurukan bangsa dan bagaimana pentingnya pendidikan karakter dilaksanakan Pendidikan/pembentukan karakter (character building) dan pembangunan bangsa (nation building) merupakan dua hal yang dapat dipisahkan. Masalah nation building itu sudah jelas sebagaimana cita-cita the founding father republik ini. Yang tersisa adalah masalah character building. Jika character building hancur, maka itu juga awal kehancuran dan berpengaruh terhadap nation building. Masalah pembentukan karakter, salah satu sumbunya adalah masalah pendidikan.
Namun demikian, ada beberapa hal yang ditengarai sebagai simpul masalah yang dihadapi pendidikan kita dalam pelaksanaannya sebagai sebuah wahana nation and character building. Masalah yang paling erat kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa adalah adanya antagonism media massa terhadap nilai-nilai pendidikan itu sendiri.
Apa yang kita konsumsi setiap hari adalah bagaimana hembusan angin konsumerisme dan gaya hidup hedonis yang ditiupkan media massa; media maya, tv dan media cetak yang lebih banyak dianut generasi bangsa ini daripada nilai-nilai prestasi dan produktivitas yang digawangi oleh institusi pendidikan. Ini menunjukkan betapa lemahnya kedudukan institusi pendidikan dalam membangun karakter bagi rakyat apalagi bila berbicara dalam tataran kebangsaan.
Selain itu, hilangnya model-model pribadi pendidik (keteladanan) di kalangan guru, dan celakanya para pemimpin kita pun turut berkontribusi dalam kegagalan pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai wahana pembangunan karakter. Pada akhirnya rakyat kehilangan role model yang memadukan unsur-unsur kebaikan dalam kehidupan berbangsa. Hal ini menjadikan pendidikan terlokalisir di sekolah dan institusi pendidikan, tidak di seluruh aspek kehidupan, itupun berjalan sedemikian kakunya.
Perkelahian/tawuran antar kelompok pelajar dan mahasiswa, bentrok mahasiswa yang berujung dengan pembakaran kampus, berdemo untuk menyatakan pendapat dengan merusak fasilitas umum, dosen adu jotos di kampus, dan sejumlah peristiwa kontra akademik lainnya adalah sebuah fotret buram dunia pendidikan yang pahit dan harus kita telan. Yang lebih ironis karena sumbu masalahnya terkadang hanya persoalan sepele.

Pendidikan Karakter dan Ade Pangampe

Pritchard  (1988: 467) meberi kata kunci tentang pembentukan karakter, yakni pembiasaan To put something into habit. Dalam kultur Bugis menjebutkan dua yakni pembiasaan dan pencontohan. (mabbiasa nennia topa na mapatiroi) Pembentukan karakter yang ditumpangkan pada pendidikan formal (peran guru) Haryadi (2011), menjelaskan pendidikan karakter sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan yang holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, acting the good. Pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good) mudah diberikan karena bersifat kognitif. Setelah knowing the good perlu ditumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good). Selanjutnya, feeling the good diharapkan menjadi mesin penggerak sehingga seseorang secara suka reka melakukan perbuatan yang baik (acting the good). Penanaman dengan model seperti itu, akan mengantarkan seseorang kepada kebiasaan berlaku baik.
            Pembentukan karakter setidaknya diadaptasi dari frasa character building dalam bahasa Inggris atau “ade pangampe” dalam bahasa Bugis. Jika asumsi ini benar, maka perbedaannya mungkin terletak pada tata cara pencapaiannya. Character building dapat dicapai melalui rekayasa pendidikan, sedangkan ade pangampe harus bermula dari pendidikan dalam rumah tangga. Pendidikan berkarakter bukanlah perkara mudah. Sesuatu yang sudah tertanam sampai pada usia dewasa, sulit untuk berubah. Maputepi kao-kaoE napaja. Demikian ungkapan Bugis mengilustrasikan tentang pentingnya penanaman pendidikan berkarakter sejak usia dini
Dalam ade pangampe, peran ibu sebagai guru pertama dan utama memegang peranan penting. Kata kuncinya, sekali lagi, ada dua, pembiasaan dan pencontohan. Dan ini harus tertanam sebelum seorang anak mengenal lingkungan pergaulan yang lebih luas. Mengapa seorang anak harus dibiasakan menjawab ye (ya dalam respon sopan) dibanding yo (ya dalam respon tidak sopan), karena yang ingin ditumbuhkan adalah pembiasaan hingga sampai pada penghayatan. Karakter itu kata kuncinya adalah pembiasaan. Pepatah melayu: kecil teranjak-anjak, besar terbawa-bawa, tua berubah tidak. Ingat pula lagu Bugis Ala Massea Sea Mua.
Adalah ‘pembiasaan’; seperti kata Pritchard, Dalam teori prilaku juga dikenal dengan istilah pembiasaan. Sesuatu yang sudah dibiasakan akan melekat dalam tindak spontan. Pepatah melayu “ala bisa karena biasa” mengisyaratkan bahwa karakter itu harus bertumbuh dari kebiasaan (baca juga pembiasaan), dengan kata lain ia merupakan sesuatu yang melewati proses panjang, tidak instan. Tidak semudah membalik telapak tangan. Lele bulu teng lele abbiasang, paseng Bugis juga mengatakan demikian
Sementara itu, dalam membangun karakter bangsa, perlu memperhatikan jatidiri masyarakat Indonesia yang bhineka baik asal usulnya maupun latar belakang sosial budayanya. Pembinaan sikap dan wawasan kebangsaan  (nasionalisme), pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa perlu menjadi pertimbangan yang utama. Memasuki era global yang sangat kompetitif, pembinaan karakter bangsa harus diarahkan pada upaya untuk lebih membina dan meningkatkan intelektualisme dan profesionalisme. Secara normatif, pendidikan dalam rangka pembangunan karakter  bangsa perlu mendasarkan pada VĂ­si, Misi, dan Fungsi pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dan signifikan dengan upaya pembangunan karakter bangsa yaitu meliputi: (1) manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) kecerdasan, (3) kemampuan, (4) watak dan akhlak mulia, (5) sehat, (6) berilmu, (7) cakap, (8) kreatif, (9) mandiri, (10) manusia Indonesia yang demokratis, (11) bertanggung jawab, dan (12) menghargai HAM

Sastra Membangun Kesadaran

Terdapat sebuah kesadaran bahwa kesusastraan memiliki hubungan yang unik dengan pembentukan nilai dan sikap kebangsaan. Di satu sisi, sejarah sastra (seni secara umum) menunjukkan bahwa sastra menempati posisi yang cukup penting dan strategis dalam pembentukan karakteristik kebangsaan, bahkan ikut terlibat langsung dalam pembentukan negara bangsa. Berbagai perdebatan dalam kesusastraan dan kebudayaan pada umumnya hampir selalu berbanding lurus dengan perdebatan soal pembangunan karakter bangsa dan kebangsaan. Singkat kata, sastra dapat dikategorikan sebagai salah satu pilar kebangsaan. Mungkin ini dianggap berlebihan, tetapi jika kita menengok sejarah Romawi Kuno, Inggrsi, Peradaban Mesir Tua, Melayu Nusantara dan China, maka peran sastra dipandang sebagai penyandi pendidikan berkarakter dalam arti luas.
Lalu kemudian, seringkali diperdebatkan tentang hubungan pendidikan karakter dan membangun karakter bangsa. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. Pritchard  (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.
Di sini yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’ (Christopher Paterson and Seligman, 2004) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak ditemukan kata karakter.  Kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; dan tabiat.
Dalam makalah ini, penulis merujuk pada pengertian pertama, yaitu karakter amat berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Ikonnya ada tiga; berprinsip, bernurani dan berjatidiri. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam ’Character Strength and Virtue’, mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan (virtues). Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Tidak berdimensi waktu dan tempat. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Bukan sesuatu yang dibuat-buat. Dengan demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik itu terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar. Yang bersentuhan dengan luar adalah kepanutan dari seseorang atau kelompok orang. Pengaruh buruk dari faktor eksternal, justru dapat direproduksi jauh lebih buruk. Kata pepatah Melayu, Guru kencing berdiri Murid kencing berlari.
Menurut  Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu  (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru.
            Sejalan pandangan sebelumnya, Hayadi (2011) melihat karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela).  Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, dan (22) panyayang. Sementara  itu, lawan dari sifat-sifat terpuji itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong, malas dan sebagainya.
Letak masalahnya bukan seperti sederetan kebajikan seperti disebutkan di atas. Tetapi nilai dominan yang ada dalam diri seseorang sehingga seseorang mampu berkontribusi terhadap kehidupan majemuk. Faktanya, banyak penghuni ‘kamar berjeruji besi’ juga memiliki sifat-sifat kebajikan dalam kehidupan sehari-harinya. Ia suka memberi, peduli lingkungan sesama, toleran dan seterusnya. Ini yang banyak mencengangkan dalam fakta keseharian yang kita konsumsi dan saksikan setiap saat.
Di negara ini yang hancur adalah keteladanan. Anggota DPR beradu jotos di parlemen, Aparat bersenjata represif dengan rakyat, Guru Agama memperkosa murid, Pemimpin yang dihormati mencuri uang negara, Putusan Pengadilan direkayasa, Dana bencana alam disunat, Uang pajak disalahgunakan, dan sejumlah non contoh lainnya. Semua itu berperanguh negatif terhadap karakter bangsa karena media informasi juga turut meng amplifier secara besar-besaran dan berulang-ulang.

Sastra Anak dan Pengajaran Sastra di Sekolah
Dalam konteks pengajaran sastra sebagai bagian dari media penumbuhan pembentukan karakter di lembaga pendidikan formal, paling tidak terdapat 3 (tiga) pertanyaan besar yang harus kita jawab. Ketiga pertanyaan tersebut sebagai berikut:
1.            Pengajaran Sastra dalam kaitannya dengan upaya menumbuhkan nilai dan sikap Kebangsaan. Bagaimana skenarionya?
Apakah sistem pengajaran sastra pada lembaga pendidikan formal telah memiliki muatan untuk menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan? Salah satu masalah besar yang kita hadapi sekarang ini karena pengajaran sastra di sekolah (khususnya SD dan SMP) tidak memperoleh porsi yang wajar. Pengajaran sastra hanya menumpang pada pengajaran bahasa. Sementara pengajaran bahasa juga disikut oleh pelajaran lain yang dianggap lebih mendesak.
Adakah tersedia buku ajar yang mampu membantu mendukung proses belajar-mengajar sastra yang menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan? Apakah institusi pendidikan telah mencetak guru sastra yang mampu memotivasi anak didiknya untuk memiliki kesadaran berkebangsaan dalam berperilaku sehari-hari melalui pengajaran sastra? Ini masalahnya
Pengajaran materi sastra seharusnya tidak diajarkan sebagai materi bacaan semata (statis) melainkan anak didik perlu dibiasakan untuk mengapresiasi sastra. Sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang hidup, karena di dalamnya mengandung potret kehidupan
2.            Eksistensi lahirnya berbagai karya sastra di tengah gencarnya peran dan pengaruh media lain di tengah masyarakat Sejauh manakah karya sastra (khususnya karya populer) mampu mendukung munculnya kesadaran nasional terhadap pembacanya? Kesadaran nasional seperti apakah yang diusung oleh karya sastra terjemahan? Apakah sastra pop mampu menjadi penetrasi morat maritnya kehidupan di luar sastra atau justru ia ikut larut dalam mengukuhkan kemoratmaritan itu? Bagaimanakah nasionalisme dihadirkan dalam karya sastra anak dan remaja misalnya? Bagaimanakah peran media massa - sebagai salah satu wadah produksi sastra - dalam mendukung pembentukan kesadaran nasional?
            Seorang guru sastra yang baik, harus mampu meyakinkan anak didiknya bahwa karya sastra memotret kehidupan yang berisikan contoh dan non contoh. Aspek contoh, adalah hal-hal yang dapat diteladani dalam kehidupan, sedangkan aspek non contoh merupakan hal yang harus dihindari.  Ini penting ditanamkan lebih awal karena bukan tidak mungkin melalui bacaan sastra terdapat hal-hal (perbuatan tidak terpuji), yang perlu diketahui untuk tidak dilakukan. Ini yang saya sebut sebut sebagai aspek non contoh.

 

3.            Bagaimana peran sastra (secara signifikan) dalam pembentukan karakter bangsa?
Sastra dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek isi, jelas bahwa karya sastra sebagai karya imajinatif tidak lepas dari realitas. Plato, sebagaimana dikutip oleh Damono (1979: 18) mengatakan bahwa kenyataan sosial yang tergambar dalam suatu karya sastra merupakan tiruan atau imitasi dari apa yang terjadi di masyarakatnya. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang terjadi pada suatu waktu, baik positif maupun negatif (baca contoh dan non contoh) direspon oleh pengarang. Dalam proses penciptaannya, pengarang akan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat itu  secara kritis,  kemudian mereka mengungkapkannya dalam bentuk karya imajinatif.

 

Catatan Penutup

            Jika karya sastra diyakini memiliki fungsi dulce et utile (nikmat dan bermanfaat), maka sudah sepantasnya karya sastra dapat dikukuhkan sebagai salah satu pilar untuk membangun karakter bangsa. Pada gilirannya fungsi dulce et ulite terejawantah dalam muatan sastra. Dan inilah yang harus dipenuhi sebagai karya yang mempunyai nilai tinggi (bermuatan tatanan sosial dan relevansinya dalam kehidupan masyarakat), yakni muatan estetis, etis dan logis. Inilah aspek yang merupakan trilogi keilmuan yang indah, baik dan benar, sehingga sejarah peradaban tua dari berbagai bangsa menjadikan sastra sebagai salah satu pilar pembentukan karakter bangsanya.
Kemanfaatan sastra diketahui karena ia mengandung pesan moral dan amanat kebajikan. Pesan moral dan amanat kebajikan amat  bersesuaian dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter tidak dapat diartikan sempit. Banyak karya sastra lama dan modern yang mengandung pendidikan karakter, di dalamnya berisikan tentang nilai-nilai dan prinsip kehidupan; kemanusiaan, harga diri, kritis, toleran, kerja keras, peduli sesama, hemat, dan bahkan rela berkorban untuk kepentingan yang lebih besar.
            Dengan mempromosikan karya sastra sebagai salah satu aspek penting dalam membangun karakter bangsa, itu berarti bahwa bacaan karya sastra telah diberi ruang untuk membangun jiwa bangsa. Apa kata W.R. Soepratman dalam lagu Indonesia Raya, /…bangunlah jiwanya, bangunlah badannya / / untuk Indonesia Raya./ adalah sebuah gambaran yang jelas bahwa pembangunan mental atau karakter bangsa tidak dapat diabaikan untuk mencapai kejayaan Indonesia. Harus disadari bahwa kepedulian membangun karakter bangsa berarti kita tengah merawat keindonesiaan kita.
            Saya ingin menakhiri tulisan ini dengan mengutip secuil dari The Nightmare of Losing’ karya A.D. Pirous / You lose your wealth, you lose nothing//You lose your health, you lose something//You lose your character, you lose everything/. Akhirnya selamat Ultah ke 51 Fakultas Ilmu Budaya Unhas

 

Bacaan Sumber
Abrams,  M.H. 1981. The Mirror and The Lamp. London: Oxford University Press., London.
Christopher Paterson and Martin E.P. Seligman, Character Strengths and Virtues : A Handbook and Classification, Oxford University Press, 2004
Damono, Sapardi Djoko, 1979, Sosiologi Sastra; Sebuah Pengetahuan Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Eco, Umberto. 1992. “Interpretation and Overinterpretation”. Stefan Collini (Ed.). New York Port Chester Cambridge University Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. “Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi”. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Goldmann, Lucien. 1975. The Genetic Structuralist Methods in the History of Literature – Towards a Sociology of the Novel. Trans Alan Sheridan. London: Tavistock.
Hardjana, Andre. 1983. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Hartoko, Dick & Rahmanto B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hayadi, 2011. Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa. Dimuat dalam republik sastra (http://publiksastra.net/2011/09/peran-sastra-dalam-pembentukan-karakter-bangsa/#ixzz1fILMuNaz)
Hudson, William Henry. 1960. An Introduction to the Study of Literature. Sydney: George G. Harrap & Co. Ltd
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Toronto (series editor by H.G. Widdowson): Oxford University Press.
Lamont, W.D. 1946. The Principles Of Moral Judgement. Oxford. The Clarendon Press.
Levin, Harry. 1973. "Literature as an Institution" in “Sociology of Literature and Drama”. (Burns & Burns, Eds.). Harmondsworth: Penguin Books Ltd.
Lesser, Simon O. 1962. “Fiction and the Unconscious”. New York: State University Press.
Little, Graham. 1978. Approach to Literature. (fourth edition) Australia: Southwood Press
Luxemburg, Jan Van & Mieke Bal Willem G.W. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko) Jamakarta: Gramedia.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. “Sastra dan Religiositas”. Yogyakarta: Kanisius.
Maslow, Abraham, 1970. Motivation and Personality. Second Edition. New York: Harper and Row, Inc.
Pritchard, I. 1988. ”Character \education: Research Prospect and Problem” American Journal of Education. 96 (4) 1988.
Rahman, Fathu, 1985. The Moral Aspect in Some T.S. Eliot’s Poems. (unpublished) Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
-------------------  2010. Sastra Anak dalam Persimpangan. (published in Lensa Budaya (Volume 5 Nomor 1, April 2010). Makassar: Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http:// www. mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Tilak, Raghukul.1985. Background to English Literature (A Study in Literary Forms). New Delhi: Rama Brothers
Wellek, Rene & Warren, Austin.1956. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, Inc
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama

*)Makalah ini telah dipresentasikan pada Seminar Internasional "Peran Ilmu-Ilmu Humaniora Dalam Membangun Karakter Bangsa" Pada FIB Unhas, 26 Januari 2012 [klik disidi]