Fathu Rahman
Abstrak
Dalam studi etno-literature, Kesuastraan Indonesia dan
Kesusastraan Malaysia disebut sebagai kesusastraan Melayu. Alasannya, karena kedua
kesusastraan dari dua bangsa ini dipandang bertumbuh dari satu rumpun budaya
yang sama yaitu Melayu. Tentu saja pandangan ini akan memicu berbagai pandangan
yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula.
Selain masalah bahasa, banyak aspek budaya yang
menarik dibicarakan dari kedua bangsa serumpun ini, termasuk diantaranya adalah
masalah kesusastraannya. Dengan kata lain kesusastraan Indonesia dan Malaysia
akan ditilik dari sudut pandang fotret sejarah dan budaya Melayu. Masalah
kesusastraan dapat menjadi issue dan tantangan dalam kajian Malaysia –
Indonesia.
Makalah ini akan membahas tentang eksistensi kesusastraan Indonesia dan
Malaysia dalam fotret budaya Melayu. Apa fenomenanya? Adakah karya sastra kedua
kesusastraan dari negara serumpun ini menjalin tali temali kemelayuan atau
justru ia masing-masing memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri?
Pada kenyataannya, kini kesusastraan Indonesia dan Malaysia
bagaikan sebuah pohon yang memiliki dua cabang yang berbeda. Tentu dengan akar sejarah
dan budaya yang sama yaitu Melayu.
Kata kunci: kesusastraan, budaya
Melayu, issue dan tantangan dalam kajian
Malaysia – Indonesia.
Sastra
Melayu
Sastra Melayu Klasik, berdasarkan penelitian terkini, bermula pada abad
XVI Masehi. Dalam beberapa sumber, dokumen pertama yang ditulis dalam bahasa
Melayu klasik adalah sepucuk surat dari raja Ternate (kini Indonesia), yakni Sultan
Abu Hayat kepada raja João III di Portugal dan tercatat pada tahun 1512 Masehi.
Sejak saat itu sampai sekarang pola dan gaya bahasanya tidak banyak yang
berubah.
Sastra Melayu klasik sering pula disebut sebagai
sastra Melayu Nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya kata nusantara berubah
pengertian yang lebih sempit. Ciri sastra Melayu klasik terletak pada pola dan
stilistika yang khas pula. Kini sastra Melayu semakin menggoda sebagai salah
satu objek kajian akademik.
Warisan sastra Melayu klasik antara lain Gurindam
(Gurindam Lama dan Gurindam dua belas), Hikayat, Karmina, Pantun, Syair,
Talibun dan lain-lain. Hanya Pantun dan Syair yang mengalami perkembangan
secara dinamis, sedangkan yang lainnya bertahan secara statis. Syair lebih
banyak didapati dan berlembanng di Malaysia, sedangkan Pantun, baik di Malaysia
maupun di Indonesia sama-sama bertahan dalam tradisi sastra masing-masing.
Meski syair tidak menunjukkan perkembangan yang
signifikan di Indonesia, tetapi perkembangan sastra pantun mengalami kemajuan
dari waktu ke waktu. Berbagai pegelaran sastra yang menghadirkan pantun, kini
semakin menggembirakan. Di beberapa universitas dan sanggar budaya kini
bermunculan komunitas pantun.
Dalam tradisi masyarakat, pantun masih dimanfaatkan
sebagai salah satu sarana pendidikan dan hiburan. Di Indonesia, kini sedang
diminati pantun diselipkan pada bagian awal dan akhir pidato pejabat. Tentu hal
ini amat menggembirakan baik sebagai sarana pelestarian pantun, maupun sebagai
salah satu pemertahanan identitas kemelayuan.
Tonggak Sejarah Sastra Melayu Bagi
Indonesia
Seperti disebutkan sebelumnya, sastra Melayu klasik
dimulai sejak abad 16 atau tepatnya pada tahun 1521. Apa yang kita kenal
sebagai sastra Melayu klasik meliputi wilayah nusantara. Hal ini mengikuti
prinsip geografis wilayah nusantara. Namun keadaan ini tidak bertahan lama,
karena lahirnya perjanjian Inggris pada tahun 1824 yang memisahkan wilayah
nusantara menjadi dua bagian besar yaitu, wilayah yang dikuasai oleh Inggris
dan wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Malaysia menjadi wilayah yang dikuasai
oleh Inggris dan Indonesia masuk ke wilayah yang dikuasai oleh Belanda.
Pemisahan wilayah nusantara masih menyisakan ruang
kebersamaan di bawah semangat Melayu karena pemisahan ini hanya bersifat
politik dan kekuasaan kolonial semata. Tradisi budaya nusantara masih sangat
kental sebagai bangsa yang dijajah secara berbeda. Keduanya diikat oleh satu
bahasa yaitu bahasa Melayu, dan kesusastraan yang ada disebutnya sebagai
kesusastraan Melayu.
Peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928 perlu dicatat
sebagai salah satu bagian penting dalam sejarah politik di Indonesia. Para
pemuda Indonesia berikrar menjunjung tinggi bahasa yang satu bahasa Indonesia.
Tentu hal ini merupakan pernyataan politik, tetapi membawa implikasi yang besar
terhadap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengimpikan dalam
kemerdekaan kemudian, memiliki bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Indonesia
Tonggak berikut adalah proklamasi kemerdekaan RI pada
tahun 1945. Konstitusi negara menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara
dan dalam aplikasinya bahasa Indonesia menjadi semangat pemersatu bangsa.
Semangat pemersatu bangsa dimaksudkan di sini karena bangsa Indonesia terdiri
dari berbagai suku, bahasa daerah, budaya dan adat istiadat. “Bhinneka Tunggal
Ika”; berbeda-beda tetapi tetap satu. Perkara inilah yang mengawali perbedaan
arah kesusastraan Indonesia dengan kesusastraan Malaysia. Sastra Indonesia
semakin meninggalkan roh melayunya sementara Malaysia tetap mempertahankan
kemelayuan itu. Keadaan ini bukan hanya pada bahasa dan adat istiadat melainkan
jauh dari itu, termasuk di dalamnya adalah pada kesusastraan.
Di awal tahun 70an muncul satu semangat bersama untuk
membangun kembali khasanah Melayu dalam Bahasa dan Kesusastraan, tetapi
pekerjaan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, semua telah berjalan
pada jalannya masing-masing. Dalam penyatuan dan penyelarasan bahasa, telah
dibentuk satu badan yang bernama MABBIM (Majelis Bahasa Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia) tetapi
ternyata hasilnya belum terlihat seperti yang diharapkan.
Tahun 90an, berbagai perguruan tinggi kerap melakukan
kegiatan ilmiah kesusastraan, termasuk kegiatan berkala Pertemuan Sastrawan
Nusantara. Berbagai kalangan menilai bahwa pada tahun 90an ini telah muncul
semangat bersama untuk merumuskan identitas kemelayuan dalam perspektif sastra
dan budaya.
Sastra, menurut Damono (1979) adalah refleksi dari
masyarakatnya. Oleh karena itu, identitas suatu bangsa, antara lain dapat
dilihat pada karya sastranya. Dalam hal yang sama ketika suatu bangsa
membutuhkan penguatan identitas, maka karya sastra berpeluang untuk memberi
refleksi.
Dengan argumen itu maka ketika suatu bangsa terancam
kehilangan identitasnya akibat serbuan budaya-budaya global, revitalisasi
nilai-nilai budaya melalui karya sastra menjadi sangat penting dan berguna.
Tetapi harus diingat bahwa nilai-nilai budaya dalam karya sastra bersifat
dinamis dan menebar, maka diperlukan forum untuk mengkaji dan merangkum nilai-nilai
itu, kemudian merumuskannya menjadi identitas bersama yang lebih pas. Dan, itulah
yang sesungguhnya yang saat ini diperlukan oleh bangsa Melayu yang kini tersebar
di negara-negara serumpun, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura,
Indonesia, Thailand dan Filipina.
Kegelisahan tentang
telah berkali-kali dibicarakan dalam forum sastra besar bernama Pertemuan
Sastrawan Nusantara (PSN). Ini adalah forum dua tahunan yang baik untuk
membicarakan identitas kemelayuan dalam kesusastraan serumpun. Apalagi dalam
forum itu senantasa dihadiri oleh para sastrawan dari negara serumpun seperti Malaysia,
Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand dan Filipina. Salah satu ciri
dari setiap pertemuan ini, pantun Melayu senantiasa menjadi ajang yang
menghangatkan suasa.
Sebut saja pertemuan pada tahun 2004, fotret budaya
Melayu dalam kesusastraan serumpun menjadi topik yang hangat, namun dalam
perspek yang berbeda. Paling tidak, telah terjadi peneguhan identitas budaya Melayu
dalam karya sastra. .
Dalam kesusastraan Indonesia dan Malaysia, jika
ditilik dari aspek kemelayuan memiliki ancaman yang berbeda. Meski harus pula
disadari bahwa identitas Melayu, tentu, tidak harus homogen, karena wilayah
negara-negara Melayu serumpun didiami oleh berbagai etnis dan agama, yang
masing-masing memiliki bentuk ekspresi budaya yang berbeda. Di Indonesia
misalnya, negeri yang kaya akan budaya lokal yang terpelihara oleh
masyarakatnya. Pemaksaan identitas yang homogen hanya akan mengakibatkan
semacam 'tragedi kultural' seperti pemaksaan identitas budaya nasional yang pernah
terjadi di Indonesia pada masa orde baru. Cara ini tentu akan mematikan banyak ekspresi budaya dan tradisi
etnis. Dan lebih konyol jika
pemaksaan identitas yang homogen itu terjadi pada budaya ataupun sastra
negara-negara serumpun yang lebih membutuhkan identitas yang relatif berbeda
sesuai dengan realitas masyarakat masing-masing negara. Identitas Melayu
mestilah bersifat dinamis dan heterogen. Disinilah pentingnya identitas Melayu
ditafsirkan lebih luas.
Di Malaysia, lain lagi masalahnya. Seperti diungkap
oleh Kamal Abdullah (budayawan Malaysia), identitas bahasa itupun kini terancam
oleh makin menguatnya tradisi sastra Inggris Malaysia. Pengaruh budaya Inggris
dan lainnya memang amat kental di Malaysia. Mengetengahkan kembali unsur budaya
Melayu dalam khasanan kesusastraan adalah menjadi pekerjaan rumah kita masing-masing.
Berbeda
dalam Persamaan
Hubungan Indonesia-Malaysia dalam
sejarahnya kerap diwarnai dengan ketegangan yang boleh jadi terwakili oleh
kata: merajuk. Perasaan kesamaan sejarah, sentimen keserumpunan, dan migrasi
warga Indonesia (sejak jaman kolonial) yang telah berlangsung begitu lama telah
menjadikan kedua bangsa dalam ikatan sosio-kultural. Batas teritorial negara
dan persoalan politik, ternyata tidak serta-merta memagari hubungan
sosio-kultural penduduk kedua bangsa yang sudah berlangsung sejak lama dan telah
mengakar dalam semangat keserumpunan dunia Melayu. Kesamaan perasaan sebagai
warga puak Malaysia itulah mukjizat dunia Melayu yang tak mudah dihapuskan
begitu saja oleh keputusan politik. (baca Mahayana,
2001)
Keserumpunan ini dapat menjadi
alasan penting untuk saling menghormati satu sama lain. Namun demikian dapat
pula menjadi bibit masalah hingga ancaman serius dalam soal tertentu. Misalnya masalah
sosial budaya dan politik. Padahal Indonesia dan Malaysia adalah negara
“kakak-beradik” istilah Mahathir Mohamad
Salah satu faktor yang sering
menimbulkan ketegangan adalah masalah perbatasan wilayah hingga klaim mengklaim
soal soal hak cipta kebudayaan. Sebut saja
klaim Malaysia atas Tortor dan
Gondang Sambilan baru-baru ini. Tortor adalah kesenian tari masyarakat Batak,
sedang Gondang Sambilan adalah bentuk tetabuhan sebagai musik pengiringnya.
Selama ini sudah begitu adanya, bahwa kesenian Batak sebagai karya-cipta
manusia pastinya lahir dari tanah Batak, di Sumatra Utara Indonesia. Lalu apa
urusannya Negeri Jiran (Malaysia) ini dengan seni budaya Batak? (Hadi, 2012)
Adalah keterangan Datuk Seri Dr. Rais Yatim, menteri
informasi, komunikasi, dan kebudayaan Malaysia, seperti dilansir media Bernama
(14/6) yang menyebutkan agenda pemerintah Malaysia untuk menjadikan Tortor dan
Gordang Sambilan sebagai national heritage (warisan nasional) untuk
mengapresiasi komunitas-masyarakat Batak Mandailing yang menetap di Malaysia.
Apa yang hendak dilakukan oleh Malaysia merupakan sesuatu yang keliru dengan
alasan apapun.
Reaksi geram bangsa kita atas arogansi Malaysia ini
tidak hanya satu-dua kali, tetapi berulang terjadi. Masih segar dalam ingatan
kita klaim-klaim serupa atas Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange dari Maluku, dan
Tari Pendet Bali. Belum lagi persoalan TKI. Juga catatan buruk lainnya sebagai
bentuk hubungan dua negara tetangga sekaligus serumpun yang kurang rukun. (Hadi,
2012)
Di sinilah pemahaman sejarah
menjadi penting. Sejarah adalah tempat bercermin dan merefleksi masa lalu. Dengan
sejarah kita belajar menemukan kearifan untuk melangkah ke masa depan. Maka,
mereka yang memahami sejarah hubungan Indonesia-Malaysia, niscaya tidak akan
menyimpan kerisauan berkepanjangan ketika terjadi gejolak dan konflik yang
seolah-olah mengganggu hubungan kedua negara. Bagi mereka yang memahami
hubungan kesejarahan kedua negara ini menganggap konflik ini sebagai sebuah
krikil yang tidak bertahan lama.
Dalam bidang kebudayaan dan
perjuangan kebangsaan perlu saling terjaga. Di sinilah diperlukan kearifan
sebagai bangsa serumpun untuk memanfaatkan akar budaya sebagai perekat dua
bangsa serumpun. Selain berkaca pada sejarah, kita pun dapat berkakaca pada
aspek budaya termasuk diantaranya adalah kesusastraan. Kedua bangsa serumpun
ini ada baiknya memposisikan kesusastraan Indonesia-Malaysia dalam wilayah yang
lebih luas: hubungan sosio-budaya Indonesia-Malaysia di tengah politik yang
menciptakan konflik. Bagaimanapun, pengetahuan masa lalu tentang persamaan
sosio-kultural kemelayuan-kenusantaraan itulah yang melahirkan – mengalirkan - menumbuhkan
semangat persaudaraan yang tak pernah lekang. Dan harus disadari bahwa itulah
tali pengikat yang menjiwai kedua bangsa yang bersaudara ini.
Sastra Melayu; konflik ideologi
Sastra Melayu yang dimakud dalam tulisan ini adalah
kesusastraan Indonesia dan Malaysia. Adalah Maman S. Mahayana (2001) turut
mempertanyakan mengapa kesusastraan Indonesia dan Malaysia akarnya sama: bahasa
dan tradisi sastra Melayu. Sama-sama bermoyangkan Raja Ali Haji dan Abdullah
bin Abdulkadir Munsyi. Namun, pohonnya berbeda, dan karena itu cabang, ranting,
dan buah kreativitas kesusastraan Indonesia dan Malaysia tidaklah sama.
Menjadi berbedanya sastra
Indonesia dengan sastra Malaysia, menurut Maman, terpaut pada kolonialisme.
Dalam hal ini, Maman antara lain merujuk pada konsekuensi negosiasi antara
Imperium Inggris dan Belanda di London pada 1824. Ranah budaya yang setradisi
dipilah dua. Pertama, Malaka serta Singapura menjadi urusan Inggris. Kedua,
Sumatra dan selebihnya jadi kewajiban Belanda. Kolonisasi, antara lain,
memperkenalkan teknologi percetakan. Dan itulah “embrio bagi kesusastraan di
kedua wilayah” (Mahayana, 2001: 3).
Dalam teori etno-literature, dua bangsa berbeda pasti
memiliki aspek budaya yang berbeda, namun demikian dua negara yang berbeda
dengan nenek moyang yang sama pasti pula memiliki tali temali budaya yang tak
terpisahkan. Itulah Indonesia dan Malaysia, tali temalinya adalah keserumpunan
Melalyu. Kedua negara ini memiliki tanggungjawab yang sama untuk melestarikan
budaya Melayu, termasuk melalui media kesusastraan.
Catatan penutup
Pada akhirnya kita mimpikan potret budaya Melayu dapat
ditemukan dalam khasanah kesusastraan Indonesia dan Malaysia. Harapan ini kita
tumpangkan pada dunia kesusastraan. Perbedaan Indonesia Malaysia jangan
dipertajam. Urusan kesusastraan jangan pula dikaitkan dengan masalah politik.
Pelestarian budaya Melayu, melalui kesusastraan merupakan media yang strategis.
Dan jika dicermati lebih jauh, meski sama-sama berakar
Melayu, sastra Indonesia dan sastra Malaysia berkembang secara terpisah. Itu
tidak soal. Hal ini terlihat pada sistem sastra dan orientasi budaya dari
masing-masing negara. Sebagai bangsa serumpun, adalah tepat jika kesusastraan
Indonesia dan Malaysia (sebut saja kebudayaan) biarlah berbeda dalam persamaan
dan bersama dalam perbedaan. Tentu di bawah semangat Melayu.
Sebagai catatan penutup, saya ingin mengakhiri makalah
ini dengan sebuah pantun /Merak melayang diangkasa sana//Jangan merayu kata
pujangga//Nenek moyang jua sama//Semangat Melayu harus terjaga
(Makalah ini telah disajikan pada International Conference; "Issues and Challenges in Malay-Indonesian Studies", Hankuk University of Foreign Studies, Korea, 2012).
Bacaan Sumber
Abrams, M.H. 1981. The Mirror and The Lamp. London:
Oxford University Press., London.
Clement, Robert J. 1978. Comparative Literature as
Academic Discipline. New York: The Modern Language Association of America.
Damono, Sapardi Djoko, 1979, Sosiologi Sastra; Sebuah
Pengetahuan Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Depdikbud.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan
Penelitan Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Dipodjojo, Asdi S. 1986. Kesusasteraan Indonesia Lama pada Zaman Pengaruh Islam. Yogyakarta
: Percetakan Lukman
Eco, Umberto. 1992. “Interpretation
and Overinterpretation”. Stefan Collini (Ed.). New York Port Chester
Cambridge University Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. “Metodologi
Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi”.
Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2011. Sastra Bandingan –
Pendekatan dan Teori Pengkajian. Yogyakarta: Lumbung Ilmu
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari
Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Goldmann, Lucien. 1975. The Genetic Structuralist
Methods in the History of Literature – Towards a Sociology of the Novel. Trans
Alan Sheridan. London: Tavistock.
Hadi, Sumarso. 2012. Simbiosis Parasitisme Malaysia - Indonesia
(http://www.radarlampung.co.id/read/opini/50500-simbiosis-parasitisme-malaysia-indonesia)
Hardjana, Andre. 1983. Kritik Sastra Sebuah Pengantar.
Jakarta: PT Gramedia.
Hartoko, Dick & Rahmanto B. 1986. Pemandu di Dunia
Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan.
Surabaya: Gaya Masa.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Toronto
(series editor by H.G. Widdowson): Oxford University Press.
Levin, Harry. 1973. "Literature
as an Institution" in “Sociology of Literature and Drama”. (Burns
& Burns, Eds.). Harmondsworth: Penguin Books Ltd.
Luxemburg, Jan Van & Mieke Bal Willem G.W.
Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko)
Jamakarta: Gramedia.
Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu: Sistem Sastra
& Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, Magelang; Indonesia Tera
Mangunwijaya, Y.B. 1988.
“Sastra dan Religiositas”. Yogyakarta: Kanisius.
Rachman, Arif, dkk., 2007,
Politik Sastra Banding; Potret Abad 20 dan 21, Aditya Media, Yogyakarta.
Rahman, Fathu, 2011.
Transformasi Karya: Dari Puisi ke Cerpen hingga ke Muzikal Drama (Studi Kasus
Uda dan Dara karya Usman Awang). Malaysia: Universiti Malaya.
Remak, Henry H. 1971
Comparative Literature, (Newton P. Stalltnech and Horst Prenz Ed.), Contemporarry
Literature: Methode & Perspective.Illinois: Carbondale & Edwardsville
Sukada, Made. 1987. Beberapa
Aspek tentang Sastra. Denpasar: Penerbit Kayumas & Yayasan Ilmu dan Seni
Lesiba.
Tilak, Raghukul.1985. Background to English Literature
(A Study in Literary Forms). New Delhi: Rama Brothers
Trisman, B., Sulistiati,
Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia
Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.